Rabu, 28 Agustus 2013
Bagi saya ini ketiga kalinya saya menginjakkan kaki di salah satu
Pulau di gugusan pulau Tenggara ini. 2011 lalu saya mendaki Gunung berapi
tertinggi kedua di Indonesia, Rinjani. Tahun lalu saya bermain air di Gili-gili
sekitar Lombok, dan tahun ini saya menginap semalam untuk numpang lewat menuju Nusa
Tenggara Timur.
Siswa-siswa NTB berlatih baris-berbaris (Gea Xena Levina, Lombok Agustus 2013) |
Salah satu hal yang paling
berkesan bagi saya adalah mengenai bis-bis antar-Pulau yang menghubungkan
NTB-NTT.
2012 lalu saya menggunakan
mobil yang disupiri teman rekan saya. Menaiki mobil tersebut berhasil membuat
saya geleng-geleng kepala. Karena bukan main ngebutnya. Mungkin bisa dibilang
orang-orang di sini perlu cas accu seminggu sekali, karena senang sekali mereka
menyalip mobil di jalanan sambil membunyikan klakson. Tak ada halangan apapun
tetap saja klakson berbunyi. Usil sih sepertinya.
Kembali ke tahun 2013. Satu
jam pertama dalam perjalanan saya menuju Bima, di Pulau Sumbawa, rasanya otot
mengencang. Otak sudah bermain pintar cari jalan keluar kalau amit-amitnya
terjadi apa-apa. Rasanya makan obat tidur biar ngantuk sepiring pun tidak
sanggup menawan rasa tegang hasil manuver-manuver sok tahu supir yang
sepertinya pantatnya sedang terbakar.
Parahnya lagi 15 jam mau tak
mau saya harus diam melawan bosan. Namun setelah dua jam saya mulai terbiasa
meladeni gonggongan bis yang secara fisik lebih prima dari bis-bis di pulau
Jawa.
Lucunya entah anak-anak
sekolah di NTB memang setiap sore melakukan kegiatan baris-berbaris atau memang
sedang akan diadakan acara baris-berbaris. Rasanya banyak sekali anak-anak yang
berlatih ketika itu di sisi-sisi jalan. Mungkin hal tersebut bikin si supir
jengkel karena menghalangi jalannya. Jadi, tiap ada barisan anak-anak yang
berlatih maka sudah siap saja saya melafalkan nama Tuhan dan menutup mata. Mungkin
di sini sudah biasa, jika ada penghalang di jalan raya bukan rem yang diinjak,
tapi klakson yang konstan ditekan sampai penghalan tersebut sadar ada bis gila
yang akan lewat. Itu kalau orang, kalau kucing? Kalau anjing? Kalau kuda? Atau
kerbau? Maaf ya saya cuma bisa bilang from ashes to ashes.
Menuju Sumbawa (Gea Xena Levina, Selat Alas, Agustus 2013) |
Masih ada 12 jam lagi sampai
akhirnya tiba di Bima, tapi dari Lombok kita harus menyebrangi selat Alas
dulu sebelum sampai di daratan Sumbawa. Hanya butuh 1-1,5 jam untuk menyebrangi
selat ini. Berangkat sekitar pukul 18.30 dan selama dalam perjalanan kami
disuguhi langit yang sangat ramah. Dari dek kapal semua gelap. Tak terlihat
horizon, langit hitam laut pun tampak hitam. Tapi titik cantik di atasnya siaga
membungkam jutaan komentar tentang, "ga kelihatan apa-apa yah?".
Sekitar pukul 19.30 tibalah
kami di Sumbawa. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Pulau yang dulu
terkenal karena letusan gunung Tambora yang mahadahsyat itu. Saya duduk di
dekat jendela baris ketiga dari depan, sebelah kanan. Otomatis tiap mobil yang
datang dari arah berlawanan memaksa saya menghentikan denyut sepersekian detik
kemudian menahan paru-paru saya meminta jatah oksigen selama beberapa detik.
Dan tidak terjadi sekali, ini terjadi setiap belokan, dan jalan di Sumbawa ini...
belokan melulu.
Saya bukan pemabuk darat,
saya termasuk golongan orang yang sering susah tidur di perjalanan darat. Dua
keping obat anti mabuk yang bagi saya lebih berlaku sebagai obat agar ngantuk
tidak bekerja. Sampai teman saya, Dioma teorang tukang tidur tangguh pun tak
berhasil memindahkan nyawa ke alam mimpi.
Peraturan di tanah Sumbawa,
apapun yang menghalangi siap-siaplah untuk dilibas! Menurut teman-teman saya
yang duduk di depan, entah berapa kucing yang mati terlindas, atau kuda atau
kerbau yang tersenggol pantatnya. Pokoknya kalau tiba-tiba terasa ada lompatan
di ban depan, artinya satu korban meninggal sudah. Entah apa.
Nge-teh di Terminal Bima (Gea Xena Levina, Bima Agustus 2013) |
Hal yang bikin saya aneh,
rasanya hanya kami yang stress di perjalanan ini. Penumpang lain santai dan
biasa saja, seakan-akan ini adalah angkot di pagi hari menuju ke sekolah. Tak
ada yang perlu ditakutkan atau dicemaskan.
Eits, tapi ternyata supir bis
ini bisa sadar juga walau cuma di sepuluh menit pertama. Ya, sepuluh menit
pertama setelah melintasi jalan dimana sebuah truk pengangkut ikan dari Labuan
Bajo masuk ke dalam jurang yang cukup dalam. Konon menurut keterangan warga
sekitar, ikan yang ada di truk tersebut bernilai puluhan hingga ratusan juta
rupiah. Mungkin supir agak mikir, bagaimana jika kejadian serupa terjadi.
Namun, nyatanya tak berlangsung lama, supir gila kembali lagi.
Bis berwarna biru dengan lambang kuda dan kereta
kencana ini berangkat dari terminal Mandalika, Lombok dengan 2 bis serupa
lainnya. Bernomor AC1, AC2, dan AC3. Sebelumnya bis AC2 memimpin di depan tapi
satu jam sebelum sampai di Bima, bis ini tersalip bis saya yang bernomor AC1.
Ketiga bis ini hampir sama gilanya, cuma berbeda faktor keberuntungannya. Bis
AC3 harus berakhir petualangannya beberapa menit sebelum sampai di Terminal
Bima karena menabrak trotoar jalan. Syukurlah tak ada korban luka fatal. Dan
setidaknya syukurlah saya selamat dari supir tergila sepanjang masa versi saya.
No comments:
Post a Comment