Sunday, October 30, 2011

Berawal dari Salah Alamat - DPP Ting Ting

Waktu itu bulan Juni, dan sebentar lagi Juli, habis itu Agustus, yaaa semua juga tahu, yang tidak semua orang tahu Juni itu adalah saatnya dimana Fikom bersiap-siap menyambut adik-adik baru kami, tentunya tidak begitu saja kami sambut untuk itulah saya lari-lari. Ya, hari itu adalah persiapan pertama untuk Fenomena 2011, dan mulai saat itu juga saya memantapkan diri untuk masuk depertemen logistik dengan jargonnya UEBER ALLEZ!

Lari-lari saya masih lari, ternyata benar saja saya telat, itu adalah hari pertama open recruitment, bingung mencari-cari dimana kawanan logistik. Dalam hati saya bernyanyi, dimaaanaaa dimaaanaaa dimaanaaa ~ saya tanya kanan kiri, di depan gedung jurusan, akhirnya Tuhan saya melihat teman saya, namanya Icha, Icha sedang duduk-duduk di sebuah divisi yang tidak laku-laku amat waktu itu (hahaha).

"Cha, liat kumpulan anak-anak logistik gak?", tanya saya. "Enggak tuh," jawab Icha. Wah saya cukup gundah gulana juga kalau gak duduk rasanya mati gaya, yang lain telah bersekongkol dengan koloninya masing-masing. Terbersit pikiran, apa saya harus duduk di departemen yang ada Icha-nya ini? Saya tanya saja ini departemen apa, dan dijawab DPP. DPP? Apa itu? Namanya tidak terlalu komersil menurut saya, tapi baiklah ini kan bukan band mainstream, jadi gak perlu komersil. Setelah dijelaskan bahwa DPP ini adalah depertemen yang ska memberi tugas itu, saya putuskan untuk duduk saja sambil coba-coba mendengarkan, ternyata asyik juga.

Setelah 4 bulan sama-sama. Saya akhirnya benar-benar menemukan sebuah rumah, dan memang seharusnya saya ada di sini. Saya menemukan bukan hanya sahabat atau teman hura-hura, saya menemukan mereka sebagai tempat memecahkan huru-hara pikiran dan tempat berbagi haru-biru. Untuk saya mereka bukan segalanya,k alau mereka segalanya mereka bisa jadi ibu atau bapak saya juga, saya tidak mau lah tiba-tiba bapak saya berubah jadi Wawe.

Inilah teman-teman yang menurut saya SEHAT, tentu saja sehat bukan dalam arti kata yang sebenarnya, karena Kak Aci tidak suka sayur, dan Wawe tidak makan nasi, yang sehat cuma saya, dian, icha, dan bunga, karena putu masih suka sakit. Sehat ini karena kami bicara banyak hal, tentang ilmu, tentang benang merah, tentang #analogi achi, tentang teori wawe, tentang in group feeling icha, tentang simpulan dayen, tentang diam-diam menghanyutkan putu. Sepertinya cuma saya yang nyampah, ya tentang kesampahan saya.
Kalianlah tempat saya hura-hura dalam ilmu. Kalian tempat saya menghentikan huru-hara dalam pikiran, dan kalian juga tempat berbagi haru biru. Kalian adalah kacang-kacangan di tengah umbi-umbian, kalian adalah sepeda di jalanan yang penuh motor, kalian adalah lagu India di tengah lagu Wali, kalian adalah yang ngeledek saya karena cuma saya yang masih pake mesin tik. Kalian adalah makhluk yang meyakinkan saya bahwa saya adalah sampah yang tidak jelek-jelek amat. Oh iya, dan kalian yang meyakinkan saya kalau saya punya kakak bernama KOYOD.



*PS
Sampai tulisan ini diterbitkan, saya belum mengembalikan:
1. Buku Jurnalisti Investigasi-nya Kak Achi, dan
2. Kaos tangan panjang biru-nya Putu

Rinjani itu Menipu



                Mari rasuk mari rasuk, rasuk. Bila kau rindu aku kan datang…” Itulah sepenggal lirik Malino, dari The Trees an The Wild, lagu yang judulnya juga diambil dari nama sebuah gunung di Sulawesi. Lagu itu pula yang saya nyanyikan di Plawangan Sembalun, sambil memandang Danau Segara Anakan, dan Gunung Jaribaru (Anak Gunung Rinjani).
                Sembalun,lengkap dengan baju band "metal" kesayangan saya The Trees and The Wild, jalur menuju 3726 mdpl itu kami sapa pukul 08.30 WITA, pemandangan khas masyarakat suku sasak yang membawa hasil panen dan juga makanan ke kaki Rinjani memberi keakraban tersendiri bagi kami. Puncaknya terlihat begitu dekat. Dengan estimasi porter berkecepatan tinggi, basecampe di Plawangan Sembalun konon dapat ditempuh dalam waktu 8 jam, dan kami…  percaya.
                Kami disuguhi panorama super canggih, tak mungkin kami membuat diorama serupa yang begitu sama. Bukan main, rasanya kami tak ingin beranjak dan pergi, meskipun kami tahu, alasan kami tak beranjak adalah karena kelelahan tingkat tinggi.
                Trek yang naik dan bergunung-gunung, serta cuaca yang panas dan membakar, seakan-akan memaksa kami untuk tetap tinggal menikmati pemandangan, setidaknya rasa itu tertambal. Jalur Sembalun sendiri memiliki tiga pos hingga menuju Plawangan. Pos pertama terletak di tengah savanna, pos kedua terletak di sebuah jembatan sehabis trek berbatu besar, dan pos ketiga kami lalui setelah kami melintasi sebuah sungai yang lebih akrab disapa jalur lava. Bukan main bukan?
                 Namun seketika saya merasa tertipu, ternyata Jani menipu saya. Dia menipu saya!
Left to right: Om Ronny, Om Beset, A Uchan, Auntie Yayang, Me, Om Beko

Diorama siapa?

Terpanggang di Savanna

Where to go?

This Is Unreal Man!

Rock that acute angled rock!

Savannah Savannah
Current of Lava


Sepatu Pinjaman


Los adolescentes - Dënver



Una obra maestra. Esto es magnífico!!!! Man watch this! Surely recommended!

Arzia Tivany Wargadiredja