Monday, November 26, 2012

Bandung Kota Kembang, Mana Kembangnya?

Sebuah pertanyaan muncul dalam benak kami selagi kecil tentang sebuah Kota yang konon katanya Kota kembang. Agenda wajib anak usia Sekolah Dasar ketika adalah pernah pergi ke Taman Ade Irma Suryani, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Taman Lalu Lintas, tapi satire itu kembali muncul di benak kami, “Mana Kembangna?”. Inilah bentuk rasa penasaran kami, terhadap pertanyaan yang tak sempat dijawab Bandung, si Kota Kembang.
Harastoeti, Dosen Sejarah dan Teori Arsitektur, Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Bandung

 Europa in de Tropen, itulah salah satu julukan warga Belanda bagi kota sang saat ini sudah tak mirip Paris lagi. Dulu, Bandung merupakan tempat pemukiman orang-orang Eropa dimana mereka tetap mempertahankan atmosfer lingkungan, gaya hidup, makanan, hingga cara berpakaian. Salah satu hal yang saat itu dipertahankan adalah gaya arsitektur khas Eropa, seakan-akan memindahkan kota-kota di Eropa pada sebuah wilayah dalam kungkungan tropic of cancer dan tropic of capricorn.


Terjebak dalam wilayah dua musim ini pula yang membuat Bandung harus memiliki unsur tropis, sebagai caranya adalah dengan membangun taman kota. Salah satu taman kota di Bandung yang cukup terkenal adalah Pieters Park atau yang kini disebut dengan nama Taman Merdeka. Taman ini dibangun pada 1885 sebagai sebuah persembahan bagi Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff dan organisasinya dalam kontribusinya terhadap akselerasi pesat Bandung.

Menurut dosen Sejarah dan Teori Arsitektur Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Harastoeti menjelaskan, awalnya Bandung didesain menjadi kota taman (Garden City). Konsep ini awalnya diterapkan di Eropa untuk mengatasi keadaan lingkungan dari polusi yang terbentuk dari industrialisasi besar-besaran. Dahulu memang banyak dibangun taman-taman kota seperti Ijzerman Park (Taman Ganeca), Jubileum Park (Taman Sari), Oranje Plein (Taman Pramuka), Pieters Park (Taman Merdeka), dan masih banyak lagi.

Masih menurut Harastoeti, masalah ini bermula dari perencanaan yang sembarangan. “Saat ini Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kota Bandung mudah diubah-ubah,” ungkapnya. Seharusnya RTRW membuat perencanaan yang jelas dengan membagi-bagi wilayah (zoning), seperti pembagian wilayah perumahan, pertanian, resapan air, industry, dan sebagainya. Sebagai imbasnya, masalah tata kota kini bukan lagi milik para planolog ataupun juru teknik lainnya, tapi merembet pada masalah sosial dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pembenahan terhadap kota Bandung saat ini dirasa sulit, walaupun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan. Jika ditanya butuh waktu berapa lama, Harastoeti menjawab, “Hitungannya bukan tahun, mungkin butuh beberapa generasi untuk memperbaikinya, dalam hal ini kita tidak boleh pesimistis”. Dalam konteks lahan penghijauan, Bandung sudah mengalami kemajuan, tapi kekurangannya, yang dilakukan terutama di sekitar jalan hanya menggunakan pot, dalam hal ini jelas Bandung butuh resapan air.

Bukan hanya Bandung kota kembang dalam konteks denotative, halaman 45 buku karya Haryoto Kunto yang berjudul Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe itu mengajak kami menelaah jejak peradaban bangsa Kaukasoid itu di tanah kami, termasuk kembang bandung dalam konteks konotatif. Dalam buku itu “kembang” dijelaskan dengan cukup sederhana: perempuan. Tak melulu soal perempuan, buku tersebut juga menjelaskan peran taman-taman di Bandung sebagai lahan konservasi alam dan penyeimbang lingkungan.

Dijelaskan, pada akhir abad ke-19, Bandung mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan kongres pertama Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula. Saat itu Bandung masih tertinggal kemajuannya jika dibandingkan dengan Surabaya. Akibat fasilitas yang belum memadai, penyelenggara kebingungan menyusun strategi agar kongres berjalan lancar. Sampai akhirnya Meneer Jules Schenk, seorang preangerplanter yang membawa serombongan noniek Indo-Belanda untuk menghibur para peserta kongres. Dapat diramalkan, kongres sukses besar!

Sejatinya, tak melulu masalah perempuan dalam konteks negatif yang selalu dikaitkan dengan istilah kembang. Sejak dahulu, Bandung sudah menjadi kota mode. Jalan Braga merupakan pusat perbelanjaan elite pada masanya. Beragam jenis pakaian yang dapat ditemukan di Paris, dapat juga ditemukan di Jalan Braga, maka itulah alasan mengapa Bandung dapat pula digambarkan sebagai kiblat mode Indonesia, yang di dalamnya tentu saja terdapat perempuan-perempuan penganut “aliran” modis.


Kalia Labitta, Finalis Puteri Indonesia 2010 asal Jawa Barat
Diakui finalis Puteri Indonesia 2010 asal Jawa Barat, Kalia Labitta bahwa perempuan-perempuan Bandung itu banyak memiliki kelebihan yang membedakannya dari perempuan-perempuan dari daerah lain, “Bedanya sama cewek daerah lain itu, cewek Bandung terkenal santun dan ayu,” ungkapnya. Ia pun meambahkan kesan-kesan positif dari beberapa finalis Puteri Indonesia daerah lain terhadap finalis asal Bandung, yaitu ramah, santun, lebih aware pada lingkungan sekitar, dan tidak menutup diri terhadap orang lain.

Dalam konteks konotatif, jelas kini Bandung berkembang pesat. Banyak industri-industri kreatif yang diciptakan perempuan lahir di Bandung. Banyak pula perempuan-perempuan asal Bandung yang dapat merepresentasikan kecantikannya lewat karya dan prestasi besar di bidangnya. Tak etis jika hanya memandang istilah “Kembang Bandung” dari konotasi negative saja.

Lalu, bicara masalah masih pantaskah Bandung disebut kota kembang kini kami mengembalikan sepenuhnya pada Anda, masih pantaskah Bandung disebut Kota Berhiber (Bersih, Hijau, Berbunga)? Atau masih layakkah Bandung bergelar Kota Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat)?

You can also read this feature by visiting :citizenmagz.com

Sunday, November 25, 2012

Wonderful Indonesia


Aku mengingat nama itu ketika aku dibawa ke sebuah teras tempat aku belajar yang aku sebut sekolah. Dalam sepenggal syair
"Nenek moyangku seorang pelaut gemar mengarung luas samudra menerjang ombak tiada takut mengarung badai sudah biasa"
aku pikir aku sudah mengenalnya. Begitu pula dalam syair
"Naik-naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara,"
aku pikir aku sudah menemukan rumah. Aku mengingat namanya ketika itu, Indonesia.
Sejak kecil jarang aku rasakan asinnya air laut, tak pernah pula aku rasakan bau angin gunung-gunung tinggi. Sehingga, aku tak percaya pada syair -syair itu di waktu kecil.
Namun, ternyata negeri ini lebih dari sekedarnya. Lebih dari apa yang diajarkan dalam buku geografi SMA bahwa tanah airku ini terletak di antara dua benua, bahwa negeriku ini terletak di antara dua samudera, bahwa negeriku ini terletak di khatulistiwa, bahwa, dan bahwa lainnya.
Bahwa banyak yang tak kudapat hanya dari buku. Banyak yang tak kudapat hanya dengan mengintip "jendela dunia"-nya saja. Banyak yang harus kuketuk langsung pintunya, memberi salam dan disambut di sana. Iya, di sana di tempat-tempat yang selama ini tak aku tahu, di Indonesia.
Negeri ini punya segalanya, gunung salju, hutan tropis, savana, gurun pasir, gunung berapi, ombak yang cantik, arus tenang, gugusan karang indah, jeram-jeram menawan, ekosistem alam yang kaya, hingga segala keajaiban budayanya.
Aku pun percaya bahwa aku harus seperti negeriku, karena menurut Pramoedya Ananta Toer
"Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga. Yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada yang tahu benar akan tujuan hidupnya"
Jika Eric Weiner berkata dalam The Geography of Bliss bahwa kebahagian bagi Belanda adalah angka, dan bagi Bhutan adalah kebijaksanaan. Maka bagiku, kebahagiaan bagi Indonesia adalah tempat itu sendiri. Wonderful Indonesia.

Thursday, November 22, 2012

"Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya" - Pramoedya Ananta Toer

Tuesday, November 6, 2012

Jalesveva Jayamahe!

Well here I go again, Kompas set my feature (again) on its page. Thanks #Conservation2nd and UKSA 387 Undip. My writing on Kompas had been cut by the editor, the full version is shown below. Happy reading!
My feature on Kompas (6/11)




Jalesveva Jayamahe!
Di lautan kita berjaya...
Di lautan kita berkarya...

Kita boleh berbangga karena sekitar 18 persen terumbu karang dunia yakni seluas 74.748 kilometer persegi hidup di dasar laut Nusantara. Dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia yakni sekitar 750 jenis karang dan 942 jenis ikan, tak aneh rasanya bila negeri ini dijuluki "Negeri Megabiodiversity".

Namun, hal menyedihkan justru datang dari laporan para peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2005), ternyata hanya tersisa 5,8 persen terumbu karang di Indonesia yang masih dalam kondisi baik. Hal tersebut memicu gerakan sekelompok pemuda yang tergabung dalam Unit Kegiatan Selam 387 Universitas Diponegoro (Uksa 387 Undip) Semarang untuk menyelenggarakan kegiatan bertajuk Coral, Serviceable, Volunteer, Action (Conservation).

All participants


Conservation merupakan program berkelanjutan lima tahun yang diselenggarakan Uksa 387 Undip sejak 2011 di Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah. Pada 21-25 September 2012, acara Conservation kedua kembali dilaksanakan. Sebanyak 15 sukarelawan dari beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, hingga Kalimantan Timur berkumpul di Karimun Jawa untuk melakukan konservasi lautan.

Hari pertama diisi dengan seminar mengenai ekonomi pariwisata, konservasi, dan terumbu karang, para peserta dibekali pengetahuan awal mengenai terumbu karang. Hadir sebagai pembicara dosen Oseanografi Undip, Prof. Sahala Hutabarat, M.Sc, perwakilan Coral Triangle Center, Arief Darmawan, dan perwakilan dari Terangi, Mikael Prastowo.

Peserta mulai beranjak menuju Karimun Jawa pada Sabtu (22/9) dan menginap di Desa Kemujan, sekitar 25 kilometer dari pintu utama Pulau Karimun Jawa. Keesokan harinya, meskipun laut Jawa yang biasanya tenang sedikit bergelombang, hal tersebut tak menyurutkan semangat para penyelam yang rata-rata terdiri atas mahasiswa dan pelajar untuk melakukan kegiatan transplantasi karang di kedalaman 7-8 meter. Mereka berharap kelak hewan yang hanya tumbuh 2 hingga 10 cm per tahun ini dapat dilihat oleh anak-cucu mereka.

Coral transplantation

Setelah melakukan kegiatan transplantasi karang, rombongan peserta beranjak menuju Pulau Tengah untuk melakukan kegiatan selam gembira atau fun dive. "Tahun ini konstruksi bawah lautnya kami tambah tugu dengan polip di atasnya, serta fish shelter untuk membasmi alga," jelas Ketua Panitia acara Aulia Yustian. Hari terakhir diisi dengan kegiatan sosial seperti Coastal Clean Up di sekitar Pantai Bare, Coastal Clean Up merupakan kegiatan pembersihan sampah di sekitar pesisir pantai dari batas pasang pantai hingga batas surut pantai. Kegiatan pun dilanjutkan dengan pendataan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan peresmian perpustakaan pintar di SD Negeri 4 Kemujan. "Melalui program ini, kami berharap semua yang terlibat memiliki jiwa konservasi yang sustainable," tambah Aulia Yustian.

Pendataan keadaan social ekonomi masyarakat dilakukan kepada sekitar dua puluh sampel kepala keluarga. Selain pendataan keadaan social dan ekonomi, penduduk juga mendapat penjelasan seputar konservasi dan pentingnya terumbu karang bagi kehidupan masyarakat. Dari kegiatan itu pula diketahui bahwa masih ada penduduk sekitar yang melakukan “selam kompresor”, yaitu menyelam dengan menggunakan kompresor pengisi udara ban yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mulai dari kram hingga kelumpuhan.

Kemujan, Sisi Lain Karimun Jawa
"Indonesia memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia," ungkap Prof. Sahala Hutabarat, M.Sc. dalam seminar hari pertama Conservation 2nd. Jadi dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat pesisir yang alur napasnya turut ditunjang kekayaan sector kelautan. Bukan tanpa alasan Tuhan menganugerahi negeri ini dengan laut mahaluas, potensi negeri mega-biodiversity ini pun tak perlu diragukan lagi. Maka, bukan tanpa alasan pula proyek ekowisata Taman Bawah Laut di Karimun Jawa ini diadakan demi membangun potensi ekonomi masyarakat sekitar pesisir.

Masih banyak tantangan yang harus dilalui untuk menjadikan Desa Kemujan destinasi ekowisata yang menjanjikan, bayangkan saja akses yang cukup jauh dari Pelabuhan utama (sekitar 25 km) tanpa kendaraan komersial,  sinyal provider telepon genggam pun sulit dijangkau, itupun menggunakan penangkap sinyal, belum lagi, pasokan listrik yang hanya hidup 6 jam saja (18.00-24.00). Masyarakat sekitar pun belum banyak yang mengenal kegiatan konservasi bagi terumbu karang yang menjadi sasaran wisata andalan.

"Kendala Desa Kemujan itu disebabkan pintu bagi wisatawan cuma ada satu, yaitu di Karimun Jawa" jelas Kepala Desa Kemujan, Yuslam Said saat pembukaan acara Conservation. Seiring istilah "traveling" dan acara "jalan-jalan" yang kini makin menjamur, tak ada salahnya sebagai wisatawan tak hanya mengekspos keindahan dan metode bepergian saja, kesejahteraan masyarakat sekitar pun patut diperhatikan! Sekali lagi, Jalesveva Jayamahe!


Thursday, November 1, 2012

Feature TV - PPLP Dayung, Jawa Barat (Waduk Jatiluhur)

Tinggal di negara maritim, yang terletak di khatulistiwa dengan gugusan pulau sebanyak lebih dari 17ribu pulau. Merupakan salah satu wilayah dengan ekosistem kekayaan air dan darat terkaya. Memiliki potensi luar biasa di sektor perairan baik darat dan laut.
Tidak hanya letak secara geografis, secara sosial dan budaya pun masyarakat Indonesia memang unggul di bidang perairan. contohnya saja suku Bajo di Sulawesi Selatan yang memang rajanya Samudra. Mengarungi luasnya lautan dengan kapal laut asli Indonesia, Phinisi.
Tak hanya itu, suku Dayak di Kalimantan yang terkenal akan kehebatannya menjelajahi jeram-jeram ganas di sungai-sungai besar di Kalimantan pun tak patut diragukan lagi
Memperingati hari sumpah pemuda, bagi saya yang merasa belum melakukan apa-apa untuk bangsa, sepertinya ingin mencoba untuk mengenalkan olahraga dayung, yaitu salah satu cabang olahraga yang belum banyak dikenal di Indonesia, padahal melalui olahraga ini Indonesi memeroleh segudang prestasi hingga ajang internasional. Bedanya, kali ini saya meliput Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) cabor dayung di home base mereka Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Dari sinilah atlet-atlet junior ditempa, hingga mencapai usianya mereka bisa mengharumkan nama bangsa!



Video ini benar-benar DIY loh, mulai dari storyline, ide cerita, narasi, narator, kameraman, hingga editing saya handle sendiri. Maklum masih belajar. Kritik dan saran saya tunggu yah ;)

CONSERVATION2nd on TV !!!


I joined #CONSERVATION2nd, an event conducted by Unit Kegiatan Selam Undip (UKSA 387 Undip) form 21-25 September 2012. We transplanted corals, Had a fun snorkel/dive, conserved the islands, did coastal clean up, made a library for children (SD 4 Kemujan), and collected the social and economic data from the inhabitants. Because WE LOVE INDONESIA! These are the report from the TV station. You can see me in a crack hahahaha :D

#1 CORAL TRANSPLANTATION

#2 COASTAL CLEAN UP

Arzia Tivany Wargadiredja