Saturday, April 20, 2013

Dilema Raja Samudera #SaveSharks

EarthDay 2013
Jaws dan Deep Blue Sea, bukanlah searangkaian film baru yang hadir di bioskop. Mereka adalah film-film yang berhasil menyedot perhatian jutaan pasang mata dengan hiu sebagai bintang utama. Serangkaian film itu pun berhasil membentuk sudut pandang kekal tentang sosok hiu yang mengerikan dan suka makan orang. Tanpa kita sadari, perkiraan ahli perikanan dunia bahwa hanya dalam jangka waktu yang diperlukan untuk menonton salah satu film tersebut (2 jam) 16.900 - 34.722 ekor hiu ditangkap di seluruh dunia, sebagian besar hanya untuk sirip mereka.
Bupati Raja Ampat, Marcus Wanma (kiri) dan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Sharif C. Sutarjo
dalam Simposium Nasional Perlindungan Hiu di Kementrian Kelautan dan Perikanan RI.

Penurunan jumlah spesies hiu kini bukanlah proyeksi masa depan lagi. Hiu mengalami penurunan jumlah sebesar 75% dan bisa mencapai 90% bagi spesies tertentu. "Penangkapan hiu dan pari ini merupakan salah satu pendapatan masyarakat nelayan di Indonesia. Akibatnya, penangkapan hiu di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara" jelas Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Sudirman Saad di Kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta. 

Data yang diperoleh FAO menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2008 Indonesia merupakan penyumbang hiu terbesar dengan lebih dari 100.000 ton per tahun. Dengan kenyataan seperti ini, di luar sana masih banyak masyarakat yang berbangga hati menikmati aneka jenis kuliner berbahan dasar hiu, mulai dari steak hiu, hiu saus padang, satai hiu, hiu bakar, hingga bubur hiu. Tak banyak yang menyadari bahwa hiu sebagai predator puncak dalam sistem rantai makanan di laut pun mempunyai andil besar dalam keseimbangan ekosistem laut.

Maka, jangan salahkan siapapun jika suatu saat kita akan kehilangan ikan karang seperti kerapu , lobster, dan tuna dalam daftar sajian bahari kita. Selain itu bila dibandingkan dengan perkembangbiakan ikan lain seperti cakalang, hiu sangatlah lambat. Cakalang dapat berkembang biak setelah 1,5 tahun dengan frekuensi perkembangbiakan 3 -4 kali per tahun, jutaan anak dapat dihasilkan. Bandingkan dengan hiu yang baru dapat berkembangbiak setelah berusia 7 – 15 tahun dengan frekuensi perkembangbiakan 1 kali setiap 2 – 3 tahun, dan hanya menghasilkan 1 – 10 ekor anak. 

"Hiu merupakan jenis hayati yang sangat penting dari sisi ekologi dan bisa menjamin kelangsungan ekosistem di negara kita" jamin Menteri Kelautan dan Perikanan, sharif Cicip Sutardjo. Melihat kenyataan tersebut, beberapa negara di dunia mulai melancarkan aksi melalui berbagai macam regulasi. Palau mulai 2009 melarang penangkapan hiu, Maladewa pun mengikuti jejak Palau pada 2010. Pada 2011 dibuat tempat perlindungan hiu di Honduras dan Tokelau, yang kemudian diikuti oleh Kepulauan Cook pada 2012. Tak hanya di negara-negara kepulauan, beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti Oregon, Washington, California, dan Illinois sukses menjalankan regulasi pelarangan kepemilikan, dan perdagangan sirip hiu.

Kabar gembira datang dari daratan Cina, sejak 2012 pemerintah Cina melarang penyajian makanan berbahan dasar sirip hiu dalam seluruh kegiatan pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia? Kabar datang dari ujung kepala burung Papua. Kabupaten Raja Ampat membuat terobosan luar biasa dengan menetapkan kawasan perairannya sebagai kawasan perlindungan hiu dan pari manta pertama di Indonesia melalui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-Jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Kabupaten Raja Ampat.

Sebuah penelitian terpisah yang dilakukan di Kepulauan Bahama, Afrika Selatan, Palau, Maladewa, dan Australia menunjukkan bahwa keuntungan wisata selam dengan hiu jauh melebihi potensi keuntungan penangkapan hiu. Wisata penyelaman dengan hiu yang sehat, secara global dapat menghadirkan keuntungan berkelanjutan sekitar $ 314 juta tiap tahunnya, bandingkan dengan keuntungan yang diperoleh hanya dengan menjual sirip saja, tak lebih dari 10 persennya, kemudian mati percuma. Bahkan, Manajer Misool Eco Resort, Raja Ampat, Andrew Miners menyatakan, bahwa melihat pari manta dan hiu secara langsung merupakan puncak dari wisata selam dan menempatkan hiu dan pari manta di urutan pertama paling menarik.

Masih banyak pekerjaan rumah terkait dengan masalah lingkungan termasuk hiu. Permasalahan utama adalah tingginya permintaan hiu oleh konsumen menyebabkan penangkapan dan ekspor hiu dari Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Jika kita sebagai konsumen tak bisa berhenti menyantap hiu dan menjadikannya lestari, jangan harap lobster bakar yang manis dan legit juga tuna dalam spaghetti aglio pedas kita tetap tersaji. Jadi, masih bangga makan hiu?

Tuesday, April 16, 2013

Arzia Tivany Wargadiredja