Sunday, April 22, 2012

Empat Pemuda di Tujuh Puncak Triangulasi Bumi

Empat Pemuda di Tujuh Puncak Triangulasi Bumi
Awalnya ngobrol-ngobrol santai aja sama Atan, Broery, dan Hafizh. Obrolan merambat ketika Atan sama Broery promosi buku Menapak Tiang Langit yang sekarang ada di tiko-toko buku. Dari ngobrol-ngobrol itu jadi deh feature tentang petualangan mereka. Mulai dari betenya mereka nunggu giliran nanjak di Everest, liciknya porter-porter Aconcagua, sampe kekesalan mereka yang kalo di buku bisa-bisa kena sensor. Hahaha ini dia!

"Menginjakkan kaki di tujuh puncak triangulasi Bumi bukanlah hal yang pernah dipikirkan sebelumnya. Berawal dari sebuah ekspedisi menjelajah Pegunungan Sudirman, Papua, mereka berangkat menuju puncak tertinggi Bumi. Cartensz Pyramid, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, Aconcagua, Everest, hingga Denali dijelajah hanya dalam waktu dua tahun. Ya, merekalah empat orang Indonesia pertama yang mengukuhkan diri sebagai The Seven Summiteers."

With Janatan Ginting (Left) and Broery Andrew Sihombing (Right)

Menginjakkan kaki di tujuh puncak triangulasi Bumi bukanlah hal yang pernah dipikirkan sebelumnya. Berawal dari sebuah ekspedisi menjelajah Pegunungan Sudirman, Papua, mereka berangkat menuju puncak tertinggi Bumi. Cartensz Pyramid, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, Aconcagua, Everest, hingga Denali dijelajah hanya dalam waktu dua tahun. Ya, merekalah empat orang Indonesia pertama yang mengukuhkan diri sebagai The Seven Summiteers.

Dijamu di markas besar Mahitala, di komplek Unpar kami berbincang dengan dua dari empat aktor penjelajahan tersebut. Broery Andrew dan Janatan Ginting yang menceritakan pengalaman seru mereka tanpa ditemani dua rekan lainnya Sofyan Arief Fesa dan Xaverius Frans. Mulai dari kekesalan mereka terhadap para pengangkut barang di Aconcagua, kebosanan tingkat tinggi di Everest, hingga merasakan siang di Kutub Selatan selama 24 jam.

Awalnya, sebelas orang pendaki dari Pecinta Alam Mahitala, Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) menjelajah Pegunungan Sudirman di Papua. Sembilan puncak mereka daki, empat diantaranya masih perawan! Keempat puncak tersebut mereka beri nama Puncak Unpar, Mahitala, Garuda, dan Merah Putih. Prestasi besar tersebut membuat mereka ditawari untuk menjajal puncak tertinggi dunia. Sani Handoko, alumnus Unpar pemilik PT Mud King, sebuah perusahaan minyak dan gas yang kemudian mensponsori penjelajahan tersebut.

Singkat, merupakan kata yang bisa menjelaskan rencana penjelajahan seven summits ini. Ditawari untuk berangkat awal 2010, selama kurang dari enam bulan mereka akhirnya memutuskan pergi. Segala macam persiapan dilakukan hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Akhirnya, Agustus 2010 mereka berangkat.
Kilimanjaro di Tanzania, merupakan gunung kedua yang mereka daki dalam ekspedisi tersebut. Berbagai persiapan tambahan mereka lakukan, “Kita nih berat di persiapan latihan ke Sudirman, setelah itu fisik kita udah ada nih, jadi kita tinggal jaga kebugaran,” ungkap Janatan Ginting yang mengakui bahwa persiapan ke Sudirman memang lebih berat daripada latihan ekspedisi seven summits ini. Pesiapan kebugaran tersebut mencakup empat dasar yaitu, endurance yang meliputi aerobik, bersepeda, dan berenang; otot yang meliputi climbing dan olahraga anerobik (sit up dan push up). Khusus untuk latihan pernapasan, mereka juga mengikuti latihan yoga.

Dalam perbincangan ringan di sore hari itu, mereka mendeskripsikan karakteristik gunung yang pernah mereka “jajah”. Cartensz Pyramid misalnya, membuat mereka berkutat dengan urusan tali-temali, kemampuan technical climbing, dan ascending. Kilimanjaro, jalurnya memiliki trek mirip dengan Gunung Semeru. Kemudian, ada sebuah kebanggaan yang berhasil mereka torehkan di Elbrus, yaitu dengan membuka jalur pendakian baru yang kemudian diberi nama “Indonesia Route”. Meskipun Vinson Massif dianggap tidak sesulit gunung lainnya, tapi suhu yang jauh di bawah nol derajat celcius (sekitar -45°C) menyebabkan mereka cukup kesulitan, dan ancaman frostbite pun jadi salah satu hal paling diwaspadai. Sementara itu cuaca Aconcagua yang berangin kencang dengan ancaman Badai cukup membuat mereka siaga. Terakhir, Denali dan Everest, keduanya memiliki karakteristik yang hampir sama, dan trek elevasi yang cukup panjang, bahkan Denali yang di atas kertas puncaknya 2644 meter lebih pendek dari Everest memiliki trek naik 1000 meter lebih panjang.

Sekuen-sekuen selama perjalanan terbebut meninggalkan cerita dan gimmick lucu untuk dikenang, beberapa diantaranya adalah pengalaman pertama mereka berjalan di atas salju sambil menarik sled dan merasakan siang hari selama 24 jam di Antartika, menggunakan bahasa isyarat ketika di Rusia, hingga kebosanan akut selama dua bulan melakukan aklimatisasi di Everest.

Tak hanya senyum yang dikenang, kekesalan mereka terhadap porter –pengangkut barang– di Aconcagua pun masih terekam. Selain faktor cuaca, beberapa oknum pengangkut barang sekaligus pendamping perjalanan di sana dianggap kurang bersahabat, “Kebanyakan guide di Aconcagua itu curang,” ungkap Broery. Kebanyakan diantara mereka seakan-akan berusaha mempercepat ekspedisi dengan cara mendemotivasi para pendaki, “Mereka dengan mudahnya men-judge  pendaki dengan bilang bahwa, Janatan kamu nggak akan kuat, kamu diam di sini, Sofyan, kamu paling cuma sampai base camp 2, dan macam-macam,” Selain bentuk demotivasi verbal, mereka pun seakan berusaha mempercepat pendakian, “Padahal, aklimatisasi kan nggak boleh cepat-cepat, beda ceritanya kalau kami pakai perusahaan Amerika. Kalau pakai perusahaan Amerika, jalannya pelan-pelan, dan base camp-nya banyak,” tambahnya. Merujuk pada informasi para pendaki sebelumnya, keuntungan bagi para porter tersebut adalah, ekspedisi cepat selesai, tapi dengan bayaran penuh.

Mountain sickness merupakan salah satu hal yang paling dihindari oleh para pendaki. Diagnosa dokter “high altitude” di Aconcagua membuat Janatan Ginting yang akrab disapa Atan harus berhenti mendaki dan tinggal sementara waktu di base camp. Jadi, ketika Broery, Sofyan, dan Frans sampai di puncak Aconcagua, Atan terpaksa tidak melanjutkan pendakian. Namun, karena daya juang dan semangat yang kuat, dua minggu berselang Atan memutuskan untuk kembali mendaki Aconcagua, dan berhasil sampai di puncak tanpa ketiga kawan seperjuangannya yang lain. Hal yang cukup janggal dirasakan oleh tim ketika Janatan divonis harus segera turun dan tidak boleh melanjutkan perjalanan, tapi dalam waktu dua minggu saja, berdasarkan tes kesehatan, Ia dinyatakan lolos untuk naik kembali ke Aconcagua.

Dalam perjalanan-perjalanan itu terselip juga ketegangan-ketegangan yang membuat mereka hingga detik ini tetap bersyukur. Broery misalnya, Ia hampir saja tergelincir masuk ke dalam crevasse – rekahan es –, atau Janatan yang hampir saja terkena longsoran salju di Everest.

Selama melakukan pendakian, para pendaki sebisa mungkin tetap berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat di Bandung. Beberapa gadget canggih pun mereka bawa agar kejadian seperti di Elbrus tidak terulang. “Di Elbrus pernah hilang kontak selama sembilan hari, orang-orang di Bandung sudah panik, dan sudah merencanakan untuk menjemput tim ke Rusia,  sampai akhirnya kita pulang dan membuat panik orang-orang,” ungkap Broery. Untuk itu, para pendaki menggunakan alat bernama Delorme. “Delorme itu semcam modem, jadi dia bisa dihubungkan dengan GPS, device ini nge-track, kalau sudah nge-trackdia kirim delorme ini, kemudian terhubung dengan satelite dan connect langsung ke sebuah perusahaan bernama SPOT, SPOT ini merupakan salah satu perusahaan provider yang menyediakan layanan delorme ini. Jadi dia bisa mengirimkan posisi kita secara real time,” jelas Broery.

Ekspedisi ber-budget 8 Milyar rupiah ini pun berakhir pada Juli 2011 lalu ketika keempat pemuda Indonesia tersebut berhasil mencapai puncak ketujuh, Denali di Alaska. Ya, memang mereka bukan yang pertama menaklukan ketujuh mahakarya Sang Mahaperkasa. Namun, membentangkan merah putih di ujung Sagarmatha pada Hari Kebangkitan Nasional, mendaki Aconcagua untuk kedua kalinya karena tak mau gagal, hilang kontak di Elbrus selama sembilan hari, menghadapi ancaman frostbite di Antartika, menjelajah dinginnya Denali demi harga diri bangsa, dan mengukuhkan gelar membanggakan bagi Indonesia sebagai negara ke-53 di dunia yang menempatkan pendakinya sebagai The Seven Summiteersadalah hal lain bagi mereka, dan mungkin hanya mereka yang mengerti. Seperti kata Sir Edmund Hillary dalam pendakian pertamanya ke Everest, “Well, we knocked the bastard off!” Ya, You knocked the bastards off!

Mahitala, dari Sinilah Mereka Memulai

Salah satu sudut ruangan di Sekretariat Mahitala
Mahitala sendiri berdiri pada tanggal 14 April tahun 1974. Pada awalnya Mahitala ini berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan. Mahitala berdiri karena pada saat itu Frans Setiawan (pendiri Mahitala) meninginkan membuat sebuah kegiatan mahasiswa yang tidak ada hubungannya dari kegiatan politik. Ya, memang pada tahun 1974 mahasiswa sangat berperan dalam kegiatan-kegiatan politik dalam negeri. Hafizh Sufnir, Ketua Mahitala periode 2011 – 2012 pun menjelaskan bahwa pembentukan Mahitala saat itu didasari oleh keinginan dibentuknya organisasi mahasiswa pecinta alam yang tidak memiliki hubungan dengan kegiatan politik.

Sejak saat itu hingga kini Mahitala memiliki beberapa kegiatan rutin setiap tahunnya. Yaitu,  Wandering Season dan diklat. Wandering Season adalah anggota Mahitala mencoba untuk membuat sebuah ekspedisi. Sejak era 1990-an perekrutan anggota baru Mahitala melalui diklat dilaksanakan setahun sekali. Melalui diklat para calon anggota baru mendapatkan lima kemampuan dasar yaitu, tali temali, navigasi, medis, survival dan SAR. Keanggaotaan bagi anggota baru Mahitala yang baru selesai melakukan diklat mendapatkan title sebagai anggota muda. Setelah itu baru di angkat menjadi anggota biasa sesuai dengan keputusan dewan pengurus. Untuk anggota Mahitala yang telah lulus dan meninggalkan kampus mereka diberi title anggota lama.

Satu hal yang selalu menjadi ciri khas dari Mahitala adalah kekeluargaan antar anggotanya. Antara anggota lama dan anggota baru memiliki rasa kekeluargaan yang kuat karena didasari hobi yang sama dan yang terpenting di Mahitala tidak memiliki budaya senioritas antar angkatan, tapi tetap menjunjung rasa hormat.

Click the link above to read the full feature.

Perkebunan Teh Malabar, Sejarah dalam Tetirah

Perkebunan Teh Malabar, Sejarah dalam Tetirah
"Pelesir menelusuri jejak perkebunan teh di tanah Priangan, dirasa tak lengkap jika tak berkunjung ke Perkebunan Teh Malabar. Perkebunan Teh yang yang konon pada masa kolonialisme Belanda tersebut, berhasil menjadi kontributor utama perkembangan kemajuan Kota Bandung pada awal abad ke-20 ini, menyimpan banyak sejarah. Sebuah perjalanan tergurat hebat. Epik! adalah kata yang tepat menggambarkan bagaimana salah satu sistem paling menyengsarakan diterapkan pada rakyat Indonesia pada masa kolonialisasi, Cultuurstelsel. Ya, di sini tempat kami melihat, diorama sejarah dalam tetirah. "

Perekebunan teh Malabar

Kuda besi kami mulai berlari, meraung 45 km ke selatan Kota Bandung. Dengan buah kecintaan Haryoto Kunto terhadap Bandung di tangan, kami benar-benar penasaran. Kebetulan kami bertiga satu tujuan, lebih sialnya lagi, terjebak dalam satu perjalanan.
Menempuh perjalanan hampir 2 jam lamanya dari pusat Kota Bandung, membuat kami cukup kelelahan. Jalan yang berkelok-kelok dan curam diselingi kabut tipis membuat kami ekstra hati-hati, meski sesekali kami melakukan manuver-manuver pongah di jalan, layaknya sekelompok mardijker yang baru bebas dari tuan.
Siang hari biasanya matahari sedang bertugas memaksa bayangan kami bertumpu di bawah kaki. Namun, kami lupa saat itu sedang berada di salah satu tempat tersejuk di Bandung Selatan. Gapura sebagai wujud kongratulasi merupakan pertanda kami telah sampai di perkebunan yang kini dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII ini. Cuaca ramah dengan suhu udara berkisar antara 16 – 26 °C, memaksa kami sedikit berleha-leha memandang kebun teh dengan luas 2022 hektar tersebut, sambil mencicipi udara segar yang sudah lama tak kami rasakan.
Cuaca Pangalengan yang menurut warga sekitar  hampir selalu mendung, dengan curah hujan yang tidak dapat diprediksi membuat kami ingin berteduh ke kediaman sang thee konig era awal 1900-an K. A. R. Bosscha. Bagi kami, Ia  bukan hanya seorang tuan tanah, tapi salah satu sokoguru perkembangan ilmu pengetahuan di Kota Bandung. Beberapa sumbangsihnya bagi masyarakat pribumi adalah, kebun teh Malabar, Societeit Concordia atau yang kita kenal sekarang dengan sebutan Gedung Merdeka, Observatorium Bosscha, dan Technische Hoogeschool yang kini dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung.
Kediaman Karel Albert Rudolf Bosscha, Pangalengan, Bandung Selatan
Benar saja, tak lama kami sampai di sebuah rumah bergaya kolonial Belanda, yang hingga kini masih terjaga. Beberapa pemugaran telah dilakukan, tapi keaslian tetap yang utama, “Sebagian besar barang-barang yang ada di dalam masih asli,” ungkap salah satu pengelola rumah tersebut. Kini, rumah tersebut digunakan oleh pihak direksi PT Perkebunan Nusantara VIII hampir tiap akhir pekan untuk keperluan acara khusus. Sayang sekali kami tidak bisa masuk ke dalam, dan hanya bisa mengintip dari jendela, karena saat itu sedang ada persiapan acara direksi.
Ada satu hal yang membuat kami merasa senang, ternyata di sekeliling kediaman filantropis Belanda ini, ada beberapa kamar, bungalow, dan rumah yang disewakan bagi pengunjung. Terdapat sekitar 11 kamar penginapan berkapasitas 2 orang, sembilan diantaranya adalah kamar standar atas dengan harga mulai Rp220.000,- hingga Rp385.000,-/malam, dan dapat naik hingga Rp495.000,-/malam pada liburan hari raya. Tersedia pula 7 rumah Camelia, rumah panggung tropis tradisional yang dapat menampung sekitar 6 orang pengunjung yang dibanderol dengan harga Rp715.000,-/malam pada hari biasa dan dapat naik hingga Rp880.000,-/malam pada hari raya. Untuk pengunjung yang membutuhkan tempat berkapasitas besar, dua buah wisma Melati, yakni penginapan berupa rumah tak jauh dari kediaman Bosscha pun disewakan. Konon, wisma Melati ini merupakan bekas kediaman Deputi Manajer pertama Malabar pada awal tahun 1900-an. Rumah pertama dapat memuat sekitar 40 orang, dan rumah kedua dapat memuat sekitar 50 orang dengan fasilitas 4 kamar tidur dan dua kamar mandi dibanderol dengan harga Rp990.000,- hingga 1.320.000,-.
Penginapan jenis "Rumah Camelia" di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung
Ketiga fasilitas di atas merupakan pilihan bagi pengunjung. Namun, pengunjung pun harus dapat menentukan fasilitas mana yang paling cocok. Karena, walaupun Wisma Melati dibanderol lebih murah, segi perawatan daerah sekitar bangunan dan lokasi pun harus menjadi perhatian utama pengunjung. Daerah yang apik dan bersih tentu saja menunjang keselamatan dan keamanan pengunjung. Beberapa tempat memang terlihat terawat, tapi ada diantaranya yang sepertinya luput dari perhatian pengelola. Selain penginapan, tempat ini pun dilengkapi fasilitas rekreasi dan wisata ilmiah seperti, kolam renang air panas,camping ground, lapangan yang dapat disewakan untuk acara outdoor, tea walk. Kita pun dapat berkunjung ke makam K.A R. Bosscha.
Miftahul Firdaus salah satu pengunjung mengungkapkan ketertarikannya terhadap objek wisata Perkebunan Teh Malabar, “Jujur saja, objek wisatanya sangat menarik, tapi akses menuju tempat tersebut cukup sulit, harus menggunakan kendaraan pribadi atau travel, agak sulit jika menggunakan kendaraan umum,” jelasnya. Diakui Miftah, segi perizinan terkesan cukup rumit. Pengunjung tidak bisa langsung datang dan menginap, melainkan harus menghubungi kantor pusat PT Perkebunan Nusantara VIII di daerah Dago. Hal ini dilakukan karena perkebunan dan segala fasilitasnya dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VII.
Berziarah Ke Tempatnya Bertetirah
Peristirahatan terakhir Karel Albert Rudolf Bosscha
Bagi kami yang tumbuh dan besar pada era 1990-an tentu saja mengenal film anak-anak yang menjadi titik tumpu tumbuhnya industry perfilman Indonesia, Petualangan Sherina. Dalam film tersebut diceritakan, dua orang anak terjebak di sebuah tempat peneropongan bintang di daerah Lembang yang saat ini kita kenal dengan nama Observatorium Bosscha. Pendirinya adalah seorangpreangerplanter yang karena kecintaannya terhadap Bandung, ingin abadi bertetirah di tengah Kebun Teh miliknya, Ialah K.A.R. Bosscha.
“Karel Alberet Rudolep Bosa nama lengkapnya teh,” seorang Bapak yang tak muda lagi tiba-tiba turut bergabung dalam percakapan seru kami bertiga. Dengan logat Sunda-nya yang kental, Ia menyebutkan nama lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha. Bah Upir namanya, seketika kami mulai akrab, tentu saja karena kami pun berceloteh dalam bahasa yang sama, Bahasa Sunda. Bah Upir bercerita bahwa dahulu, Bosscha-lah yang meminta untuk dikuburkan di tengah-tengah ladang teh miliknya. Kecintaan dan kontribusi Bosscha terhadap Bandung adalah hal yang belum tentu dimiliki generasi saat ini. Sebuah ironi memang.
Bah Upir pun menyilahkan kami memasuki komplek pemakaman. Makam gaya Eropa dengan tembok tinggi menjulang di atapnya mirip kubah, hampir serupa dengan atap bangunan yang dulu selesai dibangunnya pada 1928, Observatorium Bosscha. Warna putih pun mendominasi, dengan dua buah kursi tempok putih tertanam di kanan dan kiri area berbentuk lingkaran tersebut. Takjub, inilah ternyata tempat peristirahatan terakhirnya. Memilih untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Malabar, bahkan hingga akhir hayat. Begitulah rumah sejati, tempat dimana Anda putuskan untuk beristirahat dengan tenang.
Itulah visualisasi liburan di kaki Malabar. Bagi kami, tak ada alasan untuk tak mencoba, karena kami selalu percaya ungkapan Paul Theroux, “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu, bukanlah perjalananku,”. Kami tak lebih banyak tahu tentang dunia dan segala isinya, termasuk Anda. Maka, menjelajahlah! 

“Bagimu Persib Jiwa Raga Kami”


"Berangkat dari ungkapan Portland Oregonian , “Sepakbola mungkin tidak bisa menjelaskan semuanya, namun bisa dipakai sebagai titik berangkat untuk memahami pergeseran politik, perekonomian global, dan masalah keagamaan,”. Mungkin terlalu berat berbicara isu global kelas kolosal, tapi kami berangkat menuju kandang macan untuk menyimak kecintaan mereka –masyarakat Bandung– terhadap Persib, simbol kejayaan sepakbola Bandung."
Persib, 2011 (Dimas Edi Sembada)


Persib adalah jiwa raga, bagi mereka yang mencintai bukan hanya sekedar hobi, tapi mencintai karena alur napasnya turut ditunjang nama besar sang marsekal biru. Siang itu Bandung pada puncak kulminasi. Kami sambangi markas Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (Persib). Saat itu suasana tampak lengang, karena hampir seluruh pemain, pelatih, dan manajer tim bertandang ke Balikpapan.

Tujuan kami memang bukan untuk melihat anggota tim Persib, mata kami mulai terbuka saat memirsa kecintaan masyarakat Bandung akan tim yang mereka klaim sebagai miliknya. Bagi bobotoh  –Sebutan bagi pendukung Persib– “Persib nu aing” bukan hanya sekedar aksioma retoris, tapi janji bagi sebuah kehormatan.

Persib merupakan salah satu tim besar yang disegani di Indonesia. Hal itu berkat sejarahnya. Hingga saat ini setelah Liga Indonesia pertama Persib memang belum pernah menjadi juara di ajang apapun. Namun yang menarik, meskipun Persib berpuasa gelar selama 19 tahun, bobotoh selalu setia pada Persib. Berbagai komunitas didirikan sebagai ajang perkumpulan para bobotoh, sebut saja Viking, Flower City Casual, dan Bomber.

Ayi Beutik saat siaran di Radio Bobotoh
Ayi Beutik, punggawa di balik berdirinya Viking ini merupakan contoh dimana kecintaan dan fanatisme tersebut berkembang. Ia memberi nama anak pertamanya Jayalah Persibku, dan anak keduanya Usab Perning yang berarti Persib. “Sebenarnya Jaya -panggilan Jayalah Persibku- adalah doa untuk Persib, jadi setiap hari saya memanggil Jaya… Jaya… mungkin hanya saya yang mendoakan Persib setiap jam setiap menit,” tandasnya.
Tak hanya bentuk kecintaan, Ia pun secara gamblang menjelaskan bagaimana awalnya Viking terbentuk. Viking yang pada awalnya beranggotakan 50 orang merupakan komunitas yang cukup radikal. Tiap pertandingan, Ayi mengaku selalu berurusan dengan pihak berwajib, “Sampai dulu saya pernah membuat aturan kalo Anda mau masuk Viking anda harus berkelahi dulu,” tambahnya. Menurut informasi  Ayi, Viking adalah salah satu jaringan supporter sepakbola dunia. Viking se-dunia pernah berkumpul, ada yang berasal dari Napoli,  Jepang,  Milan, dan Spanyol. Untuk kawasan Asia, Viking adalah satu-satunya, dan baru pada tahun 2000 lahir Viking di Shibuya, Jepang. Mendengar kisah Ayi, mengingatkan kami pada Alan Garrison, komandan salah satu kelompok hooligan Inggris yang terorganisasi pada pertengahan tahun 1960-an, dan kecintaannya pada Chelsea.

Menjelajah polah Viking, tentu tak dapat dipisahkan dari permusuhannya dengan The Jak Mania Jakarta. Anarkisme tersebut diakui Ayi merupakan hal biasa dalam sepakbola. Permusuhan Viking dengan The Jak Mania pun berawal pada 1999 ketika itu pertandingan di Stadion Siliwangi, Viking enggan kedatangansupporter tim tamu, ketika kapasitas stadion Siliwangi tak mampu menampung animo bobotoh yang ingin menyaksikan tim kesayangan mereka , tapi The Jak Mania memaksa masuk, akhirnya kerusuhan pun tak terelakan. Cerita pun berlanjut ketika Viking mendukung Tim Nasional Indonesia di Senayan.

Puncaknya adalah pada acara kuis Siapa Berani yang berujung pada perusakan bis yang ditumpangi Viking.
Menurut Yusar, dosen Sosiologi dari Universitas Padjadjaran mengatakan, tidak ada garis mutlak yang dapat menjelaskan fanatisme sejauh apa, karena fanatisme sendiri bersifat relatif. “Kalau pendukung tim tersebut sudah menjiwai slogannya, itu bisa disebut fanatis,” ungkapnya. Fanatisme bobotoh terhadap Bandung dapat disebabkan oleh dua hal, dari dua sisi berbeda yaitu timbulnya lokalisasi kedaerahan dan hasil ekstraksi kapitalisme. Berbincang mengenai hal ini membuat kami membayangkan bagaimana jika Persib kehilangan huruf “B”nya. B untuk kata Bandung merupakan sebuah identitas dan bentuk lokalisasi kedaerahan yang menciptakan ikatan antara pendukung dengan tim kesayangannya. “Lihat saja Persijatim, yang pernah pindah markas ke Solo, orang-orang Jakarta Timur sendiri terlihat tidak merasa dekat dengan Persijatim,” tambahnya.

Lalu bagaimana dengan simbolisasi Persib adalah jiwa raga dan berbagai jargon lainnya? Ia melihat hal tersebut sebagai sebuah jargon yang masuk dalam struktur berpikir, kemudian diterima. Bagi bobotoh, slogan-slogan tersebut nampak seperti sebuah epos yang masuk dan tidak hanya diterima, tapi diaplikasikan dalam kehidupan.

Terkait dengan anarkisme, secara sosiologis Yusar menjelaskan, bagi orang Sunda, keterikatan terhadap “leumah cai” –kampung halaman– sangat tinggi, sehingga bisa saja menutup mata bahwa secara objektif tim lain bermain lebih baik. Fanatisme yang berujung pada anarkisme pun dapat dikaitkan dengan konteks kekinian yang merupakan cerminan tekanan hidup yang memicu naiknya derajat stress warga Bandung. Hal ini dikaitkan dengan anarkisme beberapa oknum supporter saat kemenangan tak berpihak pada Maung Bandung.

Max Timisela, Mantan Pemain Persib dan Tim Nasional Indonesia
Dari segi pemain, supporter dan euforianya diakui dapat dijadikan pembangkit semangat. Max Timisela, salah satu punggawa Persib dan Tim Nasional Indonesia yang berjaya pada pertengahan tahun 60-an hingga akhir tahun 70-an mengungkapkan, bahwa lokalitas pemain jelas berpengaruh. “Sekarang kan mereka imigran kebanyakan. Sudah selesai main ya balik, kalau kita kan pemain lokal, terus kalo kalah, mau dikemanakan muka kita,” tandasnya. Ia menambahkan, perbedaan antara pemain lokal dan pemain asing adalah hati. Ia menambahkan, “Pemain lokal benar-benar mendedikasikan hatinya untuk Persib,”. Max yang dilahirkan di Cimahi ini mengaku, baginya Persib adalah nomor satu, sedangkan keluarga baru nomor dua.

Fanatisme dalam hal ini pun bisa disebut sebagai fanatisme yang evolutif, misalnya klub besar seperti Manchester United (MU), meskipun Indonesia jauh dari Inggris, tapi banyak pula masyarakat Indonesia yang mengidolakan MU hal ini pun dapat disebut sebagai proses kapitalisme lanjutan. “Yang bisa diberi label dan laku, maka hal tersebut akan memberi benefit, bisa dibilang hasil ekstraksi kapitalisme itu sendiri,” jelas Yusar.

Adalah Mudji, pemilik sebuah bengkel sederhana di daerah Jalan Jenderal Achmad Yani, Bandung yang Ia beri nama Radiator Persib. Orang-orang yang menggunakan jasanya mungkin tidak pernah tahu bagaimana Persib bisa menunjang kehidupan bapak yang telah berhasil menyekolahkan dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya dari usaha tersebut. Namun, baginya Persib memiliki arti lain.

“Buat saya Persib itu nomor satu, walaupun belakangan ini Persib tidak seperti dulu lagi,” ungkapnya. Kecintaannya terhadap Persib pun yang telah membuatnya memilih nama unik bagi bengkel berusia 19 tahun yang dulu berlokasi di tanah tempat markas Persib Bandung saat ini berdiri. “Radiator Persib ini sudah ada sebelum stadion dan mess Persib ini semegah sekarang, sampai akhirnya ada renovasi, dan saya tereliminasi karena tidak boleh jualan di dalam,” tambahnya. Meskipun begitu, Ia mengaku kecintaannya terhadap Persib tak pernah berhenti dalam keadaan apapun.

Mudji, Pemilik Radiator Persib
Setali tiga uang dengan Mudji, Toni pewaris bisnis keluarga Mie Kocok Persib pun merasakan hal serupa. Sudah lebih dari 30 tahun, usaha Mie Kocok milik ayahnya berdiri di sarang Maung Bandung ini ada. Bukan hanya dari segi penamaan, kecintaan masyarakat Bandung terhadap klub ini pun mendatangkan keuntungan lebih baginya, “Kalau Persib mau main di Jalak Harupat, sehari sebelumnya banyak supporter yang berkumpul dan makan di sini,” ujarnya.

Yusar pun menambahkan, hasil ekstraksi kapitalisme tersebut dapat Ia lihat di Persib baru-baru ini, sedangkan yang terlihat di Persib dahulu adalah lokalitasnya saja. Menurutnya, saat ini label Persib bisa memberi jaminan keuntungan, maka dapat dipakai sebagai strategi pasar.

Merupakan sebuah pengalaman lain bila dapat meneropong Bandung dari sisi binokuler lain. Kenyataannya bagi sebagian orang, Persib adalah harga diri orang Bandung. Harga diri yang patut dipertahankan. Meski hingga kini Persib belum kembali membuktikan kejumawaannya, tapi hanya bobotoh sejati yang mencinta untuk kalah dan menangnya. Persib, iraha juara deui lur?


Arzia Tivany Wargadiredja