Thursday, January 17, 2013

(Hampir) Mati Muda di Selat Sunda


Malam itu saat semua sadar bahwa tak ada lagi keberadaan terang, maka kami mencoba menyalakannya dengan jentik-jentik dan sedikit letupan kecil di ujung bibir. Menyanyikan apa yang tak kami rasakan, menghadirkan apa yang tak kami takuti... Kematian.

Dan disaat dek kapal itu semrawut bercatut dengan lidah-lidah nyinyir gelombang, dengan kedamaian dan gelora tak ingin mati muda kami siapkan senjata, kami pasang kendali diri. Hanya satu, rompi oranye itu!
Napas kami tersentaklah, cemas kami teriaklah. Maka, semesta pun tak berani lihat kami melaju. Diam kami di tengah-tengah... di tengah-tengah.

Malam itu disaat semua berbagi damai indahnya hari pertama Muharram melantunkan 3 putaran Surat Yasin, kami mencari terang di ujung barat Jawa. Kami coba singkap dengan lagu-lagu cantik masa kini hingga suara takbir yang memekikkan langit.

Tuhan, ketika itu kami berbagi langit, kami berbagi sengit.
Tuhan, ketika itu kami berpegangan, saling teriakan.
Tuhan, ketika itu kami tak yakin melihat pagi, hanya tangis mereka, ibu kami.
Terima kasih Tuhan, kami tak jadi mati muda, di Selat Sunda.


Untuk sahabat-sahabatku yang ketika itu berbagi langit, berbagi sengit, berkumpul berhimpit.

Tuesday, January 1, 2013

KA(TEGOR)ISASI Pejalan, Harus Ada?


Trend traveling keliling Indonesia, ya, TREN! Saya ulangi, TREN ini memang baru berkembang akhir-akhir ini. Tak jelas kapan mulanya, tapi yang jelas awal 2000-an kegiatan menjelajah alam Indonesia belum popular kecuali bagi para kelab pegiat alam, pemerhati alam, atau peneliti. Dahulu, sebelum decade 2000an orang-orang Indonesia lebih banyak yang suka ke luar negeri “katanya”.
Bagi saya mempersoalkan masalah destinasi kemana seseorang akan melakukan perjalanan, itu bukan urusan saya. Jika memang dipandang dari sudut pandang “traveling” sendiri. Karena, untuk apa mempermasalahkan destinasi, toh bagi saya yang merupakan penganut paham Paul Theroux yang percaya bahwa, “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu, bukanlah perjalananku,”, selama mereka mampu, dan mau, mereka bisa pergi kemanapun.
Lain halnya jika dipandang dari sudut pandang nasionalis-nasionalis yang berkeras sekuat tenaga memajukan pariwisata Indonesia. Mungkin bagi mereka menjelajahi Indonesia adalah bentuk kontribusi terhadap sector ekonomi masyarakat sekitar. Hal tersebut juga jelas tidak salah.
Kemudian, bagi para ibu-ibu sosialita yang doyan jalan-jalanlayaknya empat sekawan Sex and The City. Pergi ke Dubai atau Abu Dhabi dengan pelayanan penerbangan kelas satu, bermalam di hotel termashur dengan segudang pengalaman kelas satu pun bagi saya tak ada yang salah, termasuk bagi para pejalan yang berorientasi pada budget.
Tidak, sama sekali tidak ada yang salah. Setiap orang dapat pergi kemanapun, dengan tujuan apapun. Menghilangkan penat, melakukan penelitian, konservasi, bekerja, menjadi sukarelawan, atau sekedar buang air pun bagi saya tak masalah. SAMA SEKALI BUKAN MASALAH. DAN TIDAK SALAH.
Namun, yang membikin saya heran sebenarnya adalah kenapa harus ada yang mempermasalahkan siapa pergi naik apa, atau siapa menginap dimana, bahkan siapa pergi kemana sehingga terjadi pengkotak-kotakan, terkesan ada batas antara traveler jenis ini atau traveler penganut itu.
Sex and the City 2 (doc. google)
Misal, seseorang pergi keliling Eropa kemudian berfoto di depan menara Eifel, kemudian ada pihak berkicau, “Yaiyalah, dia kan banyak duit”, “Yaiyalah dia kan jurnalis traveling wajar aja, liburannya gratis”, sekalinya ada yang bijak malah berkomentar, “Yausahlah yaa, Eifel kan mainstream banget”, “Yaeelah Eropa masih kerenan Indonesia”, “Ellaaah doi kan ribet, ga bisa backpacking tuh pake kalo gitu”.
Yang mau saya bicarakan di sini adalah, kenapa harus ada pengkategorian semacam itu?
1.       Kenapa harus ada yang merasa lebih keren dari yang lain ketika dia bisa menghabiskan uang lebih sedikit dengan pergi ke tempat-tempat tertentu?
2.       Kenapa harus ada yang merasa lebih keren dari yang lain ketika dia pergi ke tempat-tempat anti-mainstream (katanya) daripada ke tempat yang menurutnya mainstream?
3.       Kenapa harus ada yang merasa lebih keren kalau pernah pergi ke tempat-tempat lebih banyak?
4.       Kenapa juga harus ada yang mempermasalahkan siapa yang pernah lebih dulu ke tempat itu?
“Ah gue kan udah pernah ke tempat itu” (seketika setelah melihat foto seseorang yang ke sana)
5.       Kenapa juga harus ada pertanyaan “Udah pergi kemana aja lo?” dibandingkan “Gimana, seru ga cerita lo di sana?”?
6.       Kenapa harus ada yang mempermasalahkan seseorang pergi dengan metoda apa (backpacking atau flashpacking lah)?
Backpacker (doc. google)

Sempat beberapa kali saya mengobrol dengan para backpackers, dan ketika saya tanya apa bedanya backpacker dengan pejalan lain?
“Backpacking itu kan pada dasarnya traveling dengan menggunakan backpack” (INI SAYA SETUJU)
“Tapi yang paling membedakannya adalah backpacking adalah metoda traveling dengan budget seminimal mungkin, dan pengalaman sebanyak mungkin” (NAH INI SAYA TIDAK SETUJU)
Ah masa, kalo nggak backpacking pengalamannya nggak banyak? Pengalaman apa dulu?
Nah sebagian orang mungkin terjebak dengan kata “pengalaman”. Buat saya tidul di hotel mewah dengan pelayanan kelas satu pun akan menjadi pengalaman mengesankan. Ya siapapun boleh tidak setuju.
Lantas apa lagi yang kita permasalahkan? Apa sih traveling? Kenapa kita traveling? Apa tujuannya? 
Selama kita punya jawaban masing-masing atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasanya tak ada yang patut mempermasalahkan atau merasa lebih hebat dari yang lain. Bukankah katanya si ‘travelingg’ itu yang mengajarkan kearifan dan kerendahan hati? Baiklah, dengan segala kerendahan hati, ini hanya sebuah pendapat. Sangat dapat disangkal dan sangat dapat disetujui. :D

Arzia Tivany Wargadiredja