Aku mengingat
nama itu ketika aku dibawa ke sebuah teras tempat aku belajar yang aku sebut
sekolah. Dalam sepenggal syair
"Nenek
moyangku seorang pelaut gemar mengarung luas samudra menerjang ombak tiada
takut mengarung badai sudah biasa"
aku pikir aku
sudah mengenalnya. Begitu pula dalam syair
"Naik-naik
ke puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon
cemara,"
aku pikir aku
sudah menemukan rumah. Aku mengingat namanya ketika itu, Indonesia.
Sejak kecil
jarang aku rasakan asinnya air laut, tak pernah pula aku rasakan bau angin
gunung-gunung tinggi. Sehingga, aku tak percaya pada syair -syair itu di waktu
kecil.
Namun,
ternyata negeri ini lebih dari sekedarnya. Lebih dari apa yang diajarkan dalam
buku geografi SMA bahwa tanah airku ini terletak di antara dua benua, bahwa
negeriku ini terletak di antara dua samudera, bahwa negeriku ini terletak di
khatulistiwa, bahwa, dan bahwa lainnya.
Bahwa banyak
yang tak kudapat hanya dari buku. Banyak yang tak kudapat hanya dengan
mengintip "jendela dunia"-nya saja. Banyak yang harus kuketuk
langsung pintunya, memberi salam dan disambut di sana. Iya, di sana di
tempat-tempat yang selama ini tak aku tahu, di Indonesia.
Negeri ini
punya segalanya, gunung salju, hutan tropis, savana, gurun pasir, gunung
berapi, ombak yang cantik, arus tenang, gugusan karang indah, jeram-jeram
menawan, ekosistem alam yang kaya, hingga segala keajaiban budayanya.
Aku pun
percaya bahwa aku harus seperti negeriku, karena menurut Pramoedya Ananta Toer
"Orang
bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga. Yang bisa timbul pada
samudera, pada gunung berapi dan pada yang tahu benar akan tujuan
hidupnya"
Jika Eric
Weiner berkata dalam The Geography of Bliss bahwa kebahagian bagi Belanda
adalah angka, dan bagi Bhutan adalah kebijaksanaan. Maka bagiku, kebahagiaan
bagi Indonesia adalah tempat itu sendiri. Wonderful Indonesia.
No comments:
Post a Comment