Thursday, September 19, 2013

Di Kereta



Malang, Juli 2012

 Kalau mau tanya saya, di mana kita bisa banyak belajar tentang perubahan secara rapid terutama di Pulau Jawa. Maka saya akan bilang di kereta! Di kereta kita belajar menghajar perbedaan, belajar bergesekan, belajar bersabar, belajar tahapan, belajar setia untuk duduk tegak, belajar saling berhadapan dan saling berpunggungan, belajar saling menyapa, belajar dipertemukan, belajar dipisahkan, belajar tepat waktu atau ditinggalkan, belajar memilih arah pandang ke depan atau ke belakang. Ah, kereta ekonomi tepatnya!
Hong Kong, Februari 2013
Di jalur yang hanya membelah Jawa dan sebagian kecil Sumatera ini itulah setidaknya yang saya rasakan. Saya pun belajar untuk tidak berhenti dan tidak menyerah sebelum waktunya. Jika memang begitu, yang lain pun akan menunggu dan mempersilahkan kita berlari duluan. Seperti kereta di palang-palang penjaganya. Sering saya naik kereta, dari eksekutif sampai ekonomi. Namun, pada akhirnya opsi terakhir adalah pilihan yang paling sering saya gunakan.
Bahkan, sudah masing-masing tiga kali saya naik kereta sampai dan dari ujung Pulau Jawa. Stasiun Banyuwangi Baru, di sanalah ujung lintasannya.
Saya selalu menikmati saat-saat pergantian arena, mulai dari pedagang yang menawarkan "mijon", "mison", sampai "misone". Kadang saya menikmatinya dengan pedagang yang berjualan tahu, diawali tahu sumedang, dan berakhir dengan pecel tahu. Atau penjual strawberry yang lama kelamaan berubah menjadi penjual pecel.
Yogyakarta, Juni 2011
Kalau Anda belum paham apa yang saya bicarakan, sepertinya Anda memang patut mencoba melintasi Jawa dengan kereta ekonomi.
Kalau saya bisa bilang, tingkah polah Jawa memang bisa dilihat dari sini. Manusia-manusia yang harus mati sia-sia dihajar lokomotif karena tak tahu aturan, atau anarki oknum suporter sepakbola sialan yang dengan sengaja menghantam jendela-jendela kereta, sehingga kereta yang saya naiki satu gerbong hancur semua. Atau anak-anak ingusan yang dengan penasaran sengaja melempari kereta yang saya naiki dengan batu setengah kepala mengenai seorang nenek yang duduk di depan saya. Hampir kaca jendela saya bocor juga.
Ah terima kasih, tak pernah saya diperlihatkan dengan malapetaka sekaligus kerakusan saya sendiri dalam waktu bersamaan selain di kereta.

No comments:

Post a Comment

Arzia Tivany Wargadiredja