Judul : Ekspedisi Kompas, Hidup
Mati di Negeri Cincin Api
Penulis : Ahmad Arif
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2013
Tebal : viii + 216 hlm;28 cm x 22
cm
ISBN : 978-979-709-679-3
Gagasan mengenai
Indonesia mungkin sama sekali dianggap tak ada kaitannya dengan keajaiban
morfologis yang dimiliki negeri yang ratusan tahun dijajah karena kekayaannya
sendiri. Buku ini adalah sebuah entitas, dari konsep kelahiran, kepercayaan,
pola hidup, kearifan lokal, kekayaan, kebinasaan suatu peradaban, hingga
ramalan bagi calon penghuni “negeri mega-bencana” ini.
Secara tidak
langsung, konsep negara kepulauan di ataslah yang membuat nama Indonesia
tersebut muncul. Berawal dari sebutan seorang ahli etnografi yakni George
Samuel Windsor Earl yang memberi nama khusus bagi masyarakat cabang ras
Polinesia yang mendiami Kepulauan Hindia. Kemudian, nama Indonesia tidak
digunakan lagi sampai akhirnya digunakan kembali oleh James Logan yang
menggunakannya sebagai istilah geografis yang merujuk pada kata “Indian
Archipelago”.1
Tabrakan dan
pergeseran lempeng-lempeng besar inilah yang menghasilkan deretan kepulauan
Indian Archipelago ini, yang sekaligus mendatangkan bonus utama, yaitu jajaran
gunung api terbanyak dan teraktif di dunia. Hal ini pun menjadi konsekuensi
logis bagi tanah yang subur, kekayaan hayati, pemineralan yang kaya dan khas,
pengendapan sumber energi di bawah alas kaki, relief bumi yang rupawan, dan
kehidupan di atasnya yang menakjubkan.
Tak heran jika
beberapa abad sebelumnya, Prabu Jayabaya yang terkenal akan ramalannya telah
menuliskan syair-syairnya yang dianggap relevan dengan kehidupan masa kini,
Banjir
bandang ana ngendi-endi
Gunung
njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
Gehtinge
kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
Marga
wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti 2
Konsep Ekspedisi
Cincin Api sebelumnya jelas sudah ada, tapi tak sepopular saat ini. Bahkan
ekspedisi mengenlilingi negeri cincin api telah diawali bangsa asing, ada
Lorne dan Lawrence Blair yang melakukan ekspedisi keliling Nusantara selama 10
tahun dan dimulai sejak 1972. Pelayaran sejauh 2500 mil tersebut bermula dari
jejak leluhur bangsa kulit putih yang mencari rempah-rempah dan burung
Cendrawasih kuning-putih. Ekspedisi yang dibiayai oleh penabuh drum grup band
kenamaan The Beatles, Ringo Starr ini bahkan dijadikan produk jurnalistik pula
berupa acara televisi dengan judul “Ring of Fire”. 3
Ekspedisi dengan
tema menelusuri cincin api pun kembali dilakukan, kali ini pribumi beraksi
dalam “Ekspedisi Cincin Api Kompas” dan “Ring of Fire Adventure” yang digawangi
pasukan keluarga Tanzil, dan dilakukan dalam jangka waktu yang hampir bersamaan. Ada satu hal yang
dimiliki buku ini, sajian jurnalisme yang menampilkan kedalaman masalah tak
hanya dari satu dimensi. Disebut-sebut menganut ciri ‘beyond journalism’,
laporan ini berhasil menghantarkan Anugerah Tirto Adhi Soerjo atas pencapaian
membanggakan di biddang jurnalistik.
Ekspedisi ini
melibatkan para ilmuwan dari berbagai bidang, mulai dari geologi, arkeologi,
botani, antropologi, bahasa, bahkan sejarah untuk mengungkap apa sisa-sisa yang
telah terkubur untuk sekaligus memprediksi apa yang akan timbul. Namun, produk
jurnalistik yang mengangkat tema cincin api bukanlah yang pertama kali. Buku
ini seharusnya kembali berupaya untuk memunculkan sisi “ekspedisi”, dimana
ekspedisi berarti yang pertama atau yang terbaru. Penonjolan hal tersebutlah terdengar kurang dari buku ini ,padahal kini buku mengenai ekspedisi cincin api lain
sedang diproduksi, dan sajian televisi pun masih mengudara.
Memahami Negeri Sendiri
Sebanyak 127
gunung aktif hidup di Kepulauan Indonesia. Jumlah ini sekaligus menegaskan
bahwa Indonesia memiliki jumlah gunung api terbanyak di dunia, sekaligus
sebagai episentrum bagi 90 persen gempa di bumi, dan 81 persen di antaranya
memiliki kekuatan yang terbesar di dunia. Dalam jangka waktu 1629 – 2012 tak
kurang dari 117 tsunami terjadi. Belum lagi pemahaman yang keliru terhadap
keadaan geografis sekitar, yang menyebabkan bancana ini menyebabkan banyak
korban.
Banyak yang
salah duga bahwa Kota Ternate yang selama ini ditinggali penduduk berada di
kaki Gunung Gamalama yang jika diukur dari permukaan laut hanya setinggi 1715
meter. Nyatanya kaki gunung ini berada di bawah laut dengan ketinggian 3000
meter. Sejatinya, kota ternate berada di tubuh gunung tersebut.
Belum lagi
Tambora, letusan dahsyat pada April 1815, mengeluarkan total volume 150 miliar
meter kubik, mengacaukan angin monsoon, menyebabkan hujan berkepanjangan dan
banjir di India, Pakistan, dan Bangladesh, kelaparan melanda Asia Selatan
hingga Utara, menyebabkan 1816 sebagai tahun tanpa musim panas.
Krakatau pun
berulah sama pada 1883. Pulau Danan dan Perbuatan pun hilang tenggelam,
letusannya terdengar sejauh 4800 km hingga Mauritus, menjadi biang keladi
tsunami raksasa yang menerjang Banten dan Lampung, dan menurut De Neve (1984)
kekuatannya setara dengan 21.574 kali bom atom.
Belum lagi,
fenomena mengerikan terbaru terjadi di Aceh, Minggu pagi 26 Desember 2004.
Kerak bumi sebelah barat Aceh terangkat dan menggoyang area sekitarnya dengan
kekuatan 9,3 Skala Richter. Faktanya, gempa bumi di Aceh inbi mengeluarkan daya
lebih besar jika dibandingkan dengan seluruh gempa bumi di dunia yang terjadi
dalam kurun 10 tahun sebelumnya. Miliaran ton air laut tersebut tumpah ke
daratan sampai 9 kilometer dari bibir pantai, menewaskan ratusan ribu orang di
14 negara.
Namun dari
sekian banyak bencana luar biasa yang terjadi di negeri ini, karena hal itulah
mereka semakin terikat di jalur patahan bumi. Jika sebagian penduduk Amerika Serikat menghampiri bahaya dengan berbondong-bondong bermigrasi ke California dalam fenomena Gold Rush, yang
nyatanya secara geologis merupakan salah satu wilayah tumbukan sesar berbahaya
di dunia. Maka, rakyat Indonesia sudah dilahirkan di tempat semestinya, tempat
penuh bahaya, yang memaksa masyarakat memahami sendiri segala bentuk fenomena
alam dengan segala keterbatasan.
“Engel mon sao surito. Inang maso semon
manoknop sao fano. Unen ne alek linon, fesang bakat ne mali. Manoknop sao
hampung tibo-tibo maawi. Ede smong kahane, turiang da nenekta. Miredem teher
ere fesan naïf-nafi da. Smong dumek-dumek mo…”4
Adalah Smong,
pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa gempa dan tsunami 1907. Kisah
tersebut diwariskan secara lisan. Hal inilah yang membuat warga Simeulue lebih
siap dengan kejadian tsunami. Buktinya, korban relatif sedikit yakni tujuh
orang dari total penduduk 78.128 yang tinggal di pesisir pantai. Faktanya,
gelombang tsunami yang menerjang Simeulue seperempat jam lebih cepat daripada
di Meulaboh. Keterikatan antara manusia dan gunung pun menjadi sebuah
pengabdian luar biasa bahkan untuk nyawa sekalipun.
Melalui buku
inilah, pembaca dipaksa menyadari bahwa bahaya sesungguhnya dari menetap di
negeri api ini penuh bahaya. Memaksa pembaca untuk meahami kebijakan
sistem-sistem kepercayaan dan sosial yang dibentuk untuk melindungi anak-cucu
yang belum hadir. Membuat terpacu membaca kembali sisi lain Indonesia tak hanya
sekedar naskah di buku Geografi SMA yang menyatakan bahwa negeri ini terletak
di antara dua benua dan dua samudera. Tapi membuat sejarah, sosiologi, dan
antropologi menjadi menarik untuk dibaca kembali.
Disertai
foto-foto jurnalistik yang menggugah mata, serangkaian ilustrasi yang mudah
dimafhumi. Sekaligus gaya bahasa yang mengalir, kaya informasi. Penyampaian
informasi dibuat layaknya berita khas yang dapat mengaduk emosi, seketika
membuat bangga, sekaligus miris, dan kembali mengagumi hikayat negeri cincin
api. Sudah selayaknya para penghuni negeri cincin api mengetahui bahaya besar yang
ada di sekitar
Sumber dan Catatan Kaki
1. R. E. Elson, “The Idea of Indonesia”, Serambi.
2008. 3.n
2. Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
3. L awrence Blair, Lorne Blair, Ring of Fire,
Indonesia dalam Lingkaran Api. Ufuk Press. 2010. 1-2.n
4. Penggalan bait “smong”. Cerita lisan masyarakat
Simeulue tentang tsunami 1833 dan 1907