One of my writings on indonesia.travel (Coral, Serviceable, Volunteer, Action (Conservation): Di Lautan Kita Berjaya, di Lautan Kita Berkarya - arziativany) The official tourism and creative economy site of Indonesia.Please kindly click the link above to see my story on #CeritaNegeriku (Travelers' Stories)
Saturday, December 29, 2012
indonesia.travel (Coral, Serviceable, Volunteer, Action (Conservation): Di Lautan Kita Berjaya, di Lautan Kita Berkarya - arziativany) | Wonderful Indonesia - Travelers Stories
Thursday, December 13, 2012
Monday, November 26, 2012
Bandung Kota Kembang, Mana Kembangnya?
Sebuah pertanyaan muncul dalam benak kami selagi kecil tentang sebuah Kota yang konon katanya Kota kembang. Agenda wajib anak usia Sekolah Dasar ketika adalah pernah pergi ke Taman Ade Irma Suryani, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Taman Lalu Lintas, tapi satire itu kembali muncul di benak kami, “Mana Kembangna?”. Inilah bentuk rasa penasaran kami, terhadap pertanyaan yang tak sempat dijawab Bandung, si Kota Kembang.
Harastoeti, Dosen Sejarah dan Teori Arsitektur, Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Bandung |
Europa in de Tropen, itulah salah satu julukan warga Belanda bagi kota sang saat ini sudah tak mirip Paris lagi. Dulu, Bandung merupakan tempat pemukiman orang-orang Eropa dimana mereka tetap mempertahankan atmosfer lingkungan, gaya hidup, makanan, hingga cara berpakaian. Salah satu hal yang saat itu dipertahankan adalah gaya arsitektur khas Eropa, seakan-akan memindahkan kota-kota di Eropa pada sebuah wilayah dalam kungkungan tropic of cancer dan tropic of capricorn.
Terjebak dalam wilayah dua musim ini pula yang membuat Bandung harus memiliki unsur tropis, sebagai caranya adalah dengan membangun taman kota. Salah satu taman kota di Bandung yang cukup terkenal adalah Pieters Park atau yang kini disebut dengan nama Taman Merdeka. Taman ini dibangun pada 1885 sebagai sebuah persembahan bagi Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff dan organisasinya dalam kontribusinya terhadap akselerasi pesat Bandung.
Menurut dosen Sejarah dan Teori Arsitektur Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Harastoeti menjelaskan, awalnya Bandung didesain menjadi kota taman (Garden City). Konsep ini awalnya diterapkan di Eropa untuk mengatasi keadaan lingkungan dari polusi yang terbentuk dari industrialisasi besar-besaran. Dahulu memang banyak dibangun taman-taman kota seperti Ijzerman Park (Taman Ganeca), Jubileum Park (Taman Sari), Oranje Plein (Taman Pramuka), Pieters Park (Taman Merdeka), dan masih banyak lagi.
Masih menurut Harastoeti, masalah ini bermula dari perencanaan yang sembarangan. “Saat ini Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kota Bandung mudah diubah-ubah,” ungkapnya. Seharusnya RTRW membuat perencanaan yang jelas dengan membagi-bagi wilayah (zoning), seperti pembagian wilayah perumahan, pertanian, resapan air, industry, dan sebagainya. Sebagai imbasnya, masalah tata kota kini bukan lagi milik para planolog ataupun juru teknik lainnya, tapi merembet pada masalah sosial dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pembenahan terhadap kota Bandung saat ini dirasa sulit, walaupun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan. Jika ditanya butuh waktu berapa lama, Harastoeti menjawab, “Hitungannya bukan tahun, mungkin butuh beberapa generasi untuk memperbaikinya, dalam hal ini kita tidak boleh pesimistis”. Dalam konteks lahan penghijauan, Bandung sudah mengalami kemajuan, tapi kekurangannya, yang dilakukan terutama di sekitar jalan hanya menggunakan pot, dalam hal ini jelas Bandung butuh resapan air.
Bukan hanya Bandung kota kembang dalam konteks denotative, halaman 45 buku karya Haryoto Kunto yang berjudul Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe itu mengajak kami menelaah jejak peradaban bangsa Kaukasoid itu di tanah kami, termasuk kembang bandung dalam konteks konotatif. Dalam buku itu “kembang” dijelaskan dengan cukup sederhana: perempuan. Tak melulu soal perempuan, buku tersebut juga menjelaskan peran taman-taman di Bandung sebagai lahan konservasi alam dan penyeimbang lingkungan.
Dijelaskan, pada akhir abad ke-19, Bandung mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan kongres pertama Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula. Saat itu Bandung masih tertinggal kemajuannya jika dibandingkan dengan Surabaya. Akibat fasilitas yang belum memadai, penyelenggara kebingungan menyusun strategi agar kongres berjalan lancar. Sampai akhirnya Meneer Jules Schenk, seorang preangerplanter yang membawa serombongan noniek Indo-Belanda untuk menghibur para peserta kongres. Dapat diramalkan, kongres sukses besar!
Sejatinya, tak melulu masalah perempuan dalam konteks negatif yang selalu dikaitkan dengan istilah kembang. Sejak dahulu, Bandung sudah menjadi kota mode. Jalan Braga merupakan pusat perbelanjaan elite pada masanya. Beragam jenis pakaian yang dapat ditemukan di Paris, dapat juga ditemukan di Jalan Braga, maka itulah alasan mengapa Bandung dapat pula digambarkan sebagai kiblat mode Indonesia, yang di dalamnya tentu saja terdapat perempuan-perempuan penganut “aliran” modis.
Diakui finalis Puteri Indonesia 2010 asal Jawa Barat, Kalia Labitta bahwa perempuan-perempuan Bandung itu banyak memiliki kelebihan yang membedakannya dari perempuan-perempuan dari daerah lain, “Bedanya sama cewek daerah lain itu, cewek Bandung terkenal santun dan ayu,” ungkapnya. Ia pun meambahkan kesan-kesan positif dari beberapa finalis Puteri Indonesia daerah lain terhadap finalis asal Bandung, yaitu ramah, santun, lebih aware pada lingkungan sekitar, dan tidak menutup diri terhadap orang lain.
Dalam konteks konotatif, jelas kini Bandung berkembang pesat. Banyak industri-industri kreatif yang diciptakan perempuan lahir di Bandung. Banyak pula perempuan-perempuan asal Bandung yang dapat merepresentasikan kecantikannya lewat karya dan prestasi besar di bidangnya. Tak etis jika hanya memandang istilah “Kembang Bandung” dari konotasi negative saja.
Lalu, bicara masalah masih pantaskah Bandung disebut kota kembang kini kami mengembalikan sepenuhnya pada Anda, masih pantaskah Bandung disebut Kota Berhiber (Bersih, Hijau, Berbunga)? Atau masih layakkah Bandung bergelar Kota Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat)?
Sunday, November 25, 2012
Wonderful Indonesia
Aku mengingat
nama itu ketika aku dibawa ke sebuah teras tempat aku belajar yang aku sebut
sekolah. Dalam sepenggal syair
"Nenek
moyangku seorang pelaut gemar mengarung luas samudra menerjang ombak tiada
takut mengarung badai sudah biasa"
aku pikir aku
sudah mengenalnya. Begitu pula dalam syair
"Naik-naik
ke puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon
cemara,"
aku pikir aku
sudah menemukan rumah. Aku mengingat namanya ketika itu, Indonesia.
Sejak kecil
jarang aku rasakan asinnya air laut, tak pernah pula aku rasakan bau angin
gunung-gunung tinggi. Sehingga, aku tak percaya pada syair -syair itu di waktu
kecil.
Namun,
ternyata negeri ini lebih dari sekedarnya. Lebih dari apa yang diajarkan dalam
buku geografi SMA bahwa tanah airku ini terletak di antara dua benua, bahwa
negeriku ini terletak di antara dua samudera, bahwa negeriku ini terletak di
khatulistiwa, bahwa, dan bahwa lainnya.
Bahwa banyak
yang tak kudapat hanya dari buku. Banyak yang tak kudapat hanya dengan
mengintip "jendela dunia"-nya saja. Banyak yang harus kuketuk
langsung pintunya, memberi salam dan disambut di sana. Iya, di sana di
tempat-tempat yang selama ini tak aku tahu, di Indonesia.
Negeri ini
punya segalanya, gunung salju, hutan tropis, savana, gurun pasir, gunung
berapi, ombak yang cantik, arus tenang, gugusan karang indah, jeram-jeram
menawan, ekosistem alam yang kaya, hingga segala keajaiban budayanya.
Aku pun
percaya bahwa aku harus seperti negeriku, karena menurut Pramoedya Ananta Toer
"Orang
bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga. Yang bisa timbul pada
samudera, pada gunung berapi dan pada yang tahu benar akan tujuan
hidupnya"
Jika Eric
Weiner berkata dalam The Geography of Bliss bahwa kebahagian bagi Belanda
adalah angka, dan bagi Bhutan adalah kebijaksanaan. Maka bagiku, kebahagiaan
bagi Indonesia adalah tempat itu sendiri. Wonderful Indonesia.
Thursday, November 22, 2012
Tuesday, November 6, 2012
Jalesveva Jayamahe!
Well here I go again, Kompas set my feature (again) on its page. Thanks #Conservation2nd and UKSA 387 Undip. My writing on Kompas had been cut by the editor, the full version is shown below. Happy reading!
My feature on Kompas (6/11) |
Jalesveva Jayamahe!
Di lautan kita berjaya...
Di lautan kita berkarya...
Kita
boleh berbangga karena sekitar 18 persen terumbu karang dunia yakni seluas
74.748 kilometer persegi hidup di dasar laut Nusantara. Dengan keanekaragaman hayati
laut terbesar di dunia yakni sekitar 750 jenis karang dan 942 jenis ikan, tak
aneh rasanya bila negeri ini dijuluki "Negeri Megabiodiversity".
Namun,
hal menyedihkan justru datang dari laporan para peneliti dari Pusat Penelitian
Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2005), ternyata hanya
tersisa 5,8 persen terumbu karang di Indonesia yang masih dalam kondisi baik.
Hal tersebut memicu gerakan sekelompok pemuda yang tergabung dalam Unit
Kegiatan Selam 387 Universitas Diponegoro (Uksa 387 Undip) Semarang untuk menyelenggarakan
kegiatan bertajuk Coral, Serviceable,
Volunteer, Action (Conservation).
All participants |
Conservation
merupakan program berkelanjutan lima tahun yang diselenggarakan Uksa 387 Undip
sejak 2011 di Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah. Pada 21-25 September 2012,
acara Conservation kedua kembali dilaksanakan. Sebanyak 15 sukarelawan dari
beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
hingga Kalimantan Timur berkumpul di Karimun Jawa untuk melakukan konservasi
lautan.
Hari
pertama diisi dengan seminar mengenai ekonomi pariwisata, konservasi, dan
terumbu karang, para peserta dibekali pengetahuan awal mengenai terumbu karang.
Hadir sebagai pembicara dosen Oseanografi Undip, Prof. Sahala Hutabarat, M.Sc,
perwakilan Coral Triangle Center,
Arief Darmawan, dan perwakilan dari Terangi, Mikael Prastowo.
Peserta
mulai beranjak menuju Karimun Jawa pada Sabtu (22/9) dan menginap di Desa
Kemujan, sekitar 25 kilometer dari pintu utama Pulau Karimun Jawa. Keesokan
harinya, meskipun laut Jawa yang biasanya tenang sedikit bergelombang, hal
tersebut tak menyurutkan semangat para penyelam yang rata-rata terdiri atas
mahasiswa dan pelajar untuk melakukan kegiatan transplantasi karang di
kedalaman 7-8 meter. Mereka berharap kelak hewan yang hanya tumbuh 2 hingga 10
cm per tahun ini dapat dilihat oleh anak-cucu mereka.
Coral transplantation |
Setelah
melakukan kegiatan transplantasi karang, rombongan peserta beranjak menuju
Pulau Tengah untuk melakukan kegiatan selam gembira atau fun dive. "Tahun
ini konstruksi bawah lautnya kami tambah tugu dengan polip di atasnya, serta fish shelter untuk membasmi alga,"
jelas Ketua Panitia acara Aulia Yustian. Hari terakhir diisi dengan kegiatan
sosial seperti Coastal Clean Up di
sekitar Pantai Bare, Coastal Clean Up
merupakan kegiatan pembersihan sampah di sekitar pesisir pantai dari batas
pasang pantai hingga batas surut pantai. Kegiatan pun dilanjutkan dengan pendataan
keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan peresmian perpustakaan pintar di SD
Negeri 4 Kemujan. "Melalui program ini, kami berharap semua yang terlibat
memiliki jiwa konservasi yang sustainable,"
tambah Aulia Yustian.
Pendataan
keadaan social ekonomi masyarakat dilakukan kepada sekitar dua puluh sampel
kepala keluarga. Selain pendataan keadaan social dan ekonomi, penduduk juga
mendapat penjelasan seputar konservasi dan pentingnya terumbu karang bagi
kehidupan masyarakat. Dari kegiatan itu pula diketahui bahwa masih ada penduduk
sekitar yang melakukan “selam kompresor”, yaitu menyelam dengan menggunakan kompresor
pengisi udara ban yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mulai dari kram
hingga kelumpuhan.
Kemujan, Sisi Lain Karimun Jawa
"Indonesia
memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia," ungkap Prof. Sahala
Hutabarat, M.Sc. dalam seminar hari pertama Conservation 2nd. Jadi dapat
dibayangkan berapa banyak masyarakat pesisir yang alur napasnya turut ditunjang
kekayaan sector kelautan. Bukan tanpa alasan Tuhan menganugerahi negeri ini
dengan laut mahaluas, potensi negeri mega-biodiversity ini pun tak perlu
diragukan lagi. Maka, bukan tanpa alasan pula proyek ekowisata Taman Bawah Laut
di Karimun Jawa ini diadakan demi membangun potensi ekonomi masyarakat sekitar
pesisir.
Masih banyak
tantangan yang harus dilalui untuk menjadikan Desa Kemujan destinasi ekowisata yang
menjanjikan, bayangkan saja akses yang cukup jauh dari Pelabuhan utama (sekitar
25 km) tanpa kendaraan komersial, sinyal
provider telepon genggam pun sulit dijangkau, itupun menggunakan penangkap
sinyal, belum lagi, pasokan listrik yang hanya hidup 6 jam saja (18.00-24.00).
Masyarakat sekitar pun belum banyak yang mengenal kegiatan konservasi bagi
terumbu karang yang menjadi sasaran wisata andalan.
"Kendala Desa Kemujan itu disebabkan pintu bagi wisatawan cuma ada satu, yaitu di Karimun Jawa" jelas Kepala Desa Kemujan, Yuslam Said saat pembukaan acara Conservation. Seiring istilah "traveling" dan acara "jalan-jalan" yang kini makin menjamur, tak ada salahnya sebagai wisatawan tak hanya mengekspos keindahan dan metode bepergian saja, kesejahteraan masyarakat sekitar pun patut diperhatikan! Sekali lagi, Jalesveva Jayamahe!
"Kendala Desa Kemujan itu disebabkan pintu bagi wisatawan cuma ada satu, yaitu di Karimun Jawa" jelas Kepala Desa Kemujan, Yuslam Said saat pembukaan acara Conservation. Seiring istilah "traveling" dan acara "jalan-jalan" yang kini makin menjamur, tak ada salahnya sebagai wisatawan tak hanya mengekspos keindahan dan metode bepergian saja, kesejahteraan masyarakat sekitar pun patut diperhatikan! Sekali lagi, Jalesveva Jayamahe!
Thursday, November 1, 2012
Feature TV - PPLP Dayung, Jawa Barat (Waduk Jatiluhur)
Tinggal di negara maritim, yang terletak di khatulistiwa dengan gugusan pulau sebanyak lebih dari 17ribu pulau. Merupakan salah satu wilayah dengan ekosistem kekayaan air dan darat terkaya. Memiliki potensi luar biasa di sektor perairan baik darat dan laut.
Tidak hanya letak secara geografis, secara sosial dan budaya pun masyarakat Indonesia memang unggul di bidang perairan. contohnya saja suku Bajo di Sulawesi Selatan yang memang rajanya Samudra. Mengarungi luasnya lautan dengan kapal laut asli Indonesia, Phinisi.
Tak hanya itu, suku Dayak di Kalimantan yang terkenal akan kehebatannya menjelajahi jeram-jeram ganas di sungai-sungai besar di Kalimantan pun tak patut diragukan lagi
Memperingati hari sumpah pemuda, bagi saya yang merasa belum melakukan apa-apa untuk bangsa, sepertinya ingin mencoba untuk mengenalkan olahraga dayung, yaitu salah satu cabang olahraga yang belum banyak dikenal di Indonesia, padahal melalui olahraga ini Indonesi memeroleh segudang prestasi hingga ajang internasional. Bedanya, kali ini saya meliput Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) cabor dayung di home base mereka Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Dari sinilah atlet-atlet junior ditempa, hingga mencapai usianya mereka bisa mengharumkan nama bangsa!
Video ini benar-benar DIY loh, mulai dari storyline, ide cerita, narasi, narator, kameraman, hingga editing saya handle sendiri. Maklum masih belajar. Kritik dan saran saya tunggu yah ;)
CONSERVATION2nd on TV !!!
I joined #CONSERVATION2nd, an event conducted by Unit Kegiatan Selam Undip (UKSA 387 Undip) form 21-25 September 2012. We transplanted corals, Had a fun snorkel/dive, conserved the islands, did coastal clean up, made a library for children (SD 4 Kemujan), and collected the social and economic data from the inhabitants. Because WE LOVE INDONESIA! These are the report from the TV station. You can see me in a crack hahahaha :D
#1 CORAL TRANSPLANTATION
#2 COASTAL CLEAN UP
Saturday, October 20, 2012
indonesia.travel (Kurir Titip Pesan Nusakambangan - arziativany)
One of my writings on indonesia.travel (Kurir Titip Pesan Nusakambangan - arziativany) The official tourism and creative economy site of Indonesia.Please kindly click the link above to see my story on #CeritaNegeriku (Travelers' Stories)
indonesia.travel (Jangan Main-Main di Rinjani! - arziativany)
One of my writings on indonesia.travel (Jangan Main-Main di Rinjani! - arziativany) The official tourism and creative economy site of Indonesia.Please kindly click the link above to see my story on #CeritaNegeriku (Travelers' Stories)
Wednesday, October 3, 2012
Pala, Sejarah dan Masa Depan Bangsa
Pesona Myristica fragrans sepertinya memang telah mengubah garis peradaban Indonesia. Dalam sejarah, eksotismenya menggugah penjelajah Eropa untuk eksodus ke Timur. Tak pelak, Pelabuhan Malaka pun menjadi saksi penjejakan pertama bangsa Eropa di Nusantara pada 1511.
Kini, anggapan
bangsa Eropa tentang nilai pala yang sebanding atau lebih besar dibandingkan
dengan emas relatif tak berlaku lagi. Pala pun kini tak sedigjaya
dulu, ketika biji merah dan filinya dapat membuat Belanda rela menukar Nieuw
Amsterdam (kini New York) dengan Pulau Run di selatan Pulau Banda dalam Traktat
Breda pada 1667, seperti yang tertuang dalam buku Giles Milton, Nathaniel's
Nutmeg.
Sedari dulu,
pala memang dikenal sebagai salah satu jenis rempah yang bernilai tinggi karena
khasiatnya dalam dunia pengobatan. Pala dipercaya dapat mengobati beberapa
jenis gangguan kesehatan mulai dari masuk angin, hingga diabetes. Meskipun kini
dunia pengobatan telah berkembang ke era yang lebih modern, manfaat pala
sebagai obat herbal masih sangat diminati bahkan oleh bangsa Eropa sekalipun
yang kemajuan teknologinya tinggi.
Menurut data
yang dilansir oleh The Uppsala Monitoring
Centre, lebih dari 70 persen penduduk Jerman (Eropa) masih menggunakan pengobatan
herbal, bahkan seringkali menjadi cara pengobatan utama bagi beberapa penyakit
minor. Hal serupa pun diungkapkan World Health Organization (WHO) yang
menyatakan sebanyak 75-80 persen penduduk dunia pernah menggunakan obat-obatan
herbal (2005).
Ironisnya, dari
ribuan jenis tanaman obat di Indonesia, obat herbal yang terstandar hanya 17
jenis dan hanya 6 jenis tanaman obat yang akhirnya menjadi fitofarmaka, yaitu
obat yang sudah diuji secara pre klinis dan klinis. Di samping itu, obat herbal
terstandar memang memiliki beberapa syarat, yakni harus memiliki aktivitas,
toksisitasnya aman, dosisnya rasional, dapat disimpan dalam berbagai kondisi,
dan aman untuk diproduksi.
Memang tidak
mudah mengembangkan bahan-bahan herbal menjadi obat yang digunakan secara medis
sebagai obat komplementer. Saat ini, masyarakat Indonesia kebanyakan
menggunakan bahan-bahan herbal berdasarkan pengalaman, sedangkan untuk
mengembangkan bahan-bahan herbal tersebut menjadi obat komplementer, harus
memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya memiliki evident base, dan melalui uji pre klinis baik secara in vivo maupun in vitro, sehingga penggunaannya terstandardisasi, baik aktivitas
maupun keamanan penggunaannya.
Obat Diabetes Masa Depan
Kini, biji pala
sebagai obat diabetes mellitus tipe 2 sedang dikembangkan di Fakultas Farmasi,
Universitas Padjadjaran. Hal ini diprakarsai oleh Dr. Keri Lestari, dosen yang
konsisten berfokus pada masalah diabetes. Penelitian tersebut didasari oleh dua
faktor, pertama dari konteks sosial, Ia sadar betul penderita diabetes
membutuhkan obat yang murah dan minim efek samping, sedangkan dalam konteks
kesehatan, penderita diabetes memiliki potensi pembekuan darah dan stroke yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat, maka obat herbal dibutuhkan untuk
mengatasi kemungkinan komplikasi.
Penelitian ini
dimulai, ketika Dr. Keri Lestari mendapatkan kesempatan joint research Yonsei University di Seoul, Korea Selatan, untuk menyelesaikan
disertasinya. Di sana, Ia men-screen
tanaman tanaman yang memiliki efek tanda PPARg
dan PPARa. “Obat yang dapat
mengintervensi peran PPAR g/a merupakan
salah satu obat diabetes masa depan,” tegasnya. Sejak 2008 hingga 2010, Dr.
Keri Lestari menyelesaikan disertasinya yang berfokus pada uji pre klinis pala
sebagai obat anti-diabetes. Ketika itu, disertasinya terbatas pada uji
aktivitas, toksisitas, stabilitas senyawa aktif, dan apa senyawa aktifnya. Baru
pada 2011, Ia mulai membuat formulasi obat diabetes khusus, dimana harus
memenuhi syarat seperti, memenuhi standar glycemic
index, obat yang diproduksi harus hancur di dalam tubuh sebelum 5 menit,
formulasi telah diuji pada hewan coba, telah diuji pada uji fase satu (diuji
pada sukarelawan sehat), dan terakhir melalui uji fase 2 (uji pada penderita
diabetes).
Di Indonesia,
kandungan pala yang menjadi standar uji, biasanya adalah myristicin, tapi
menurutnya, myristicin tidak boleh terkandung dalam obat herbal. Berdasarkan
standar Food and Drug Administration
(FDA), kandungan myristicin dan safrol tidak diizinkan dalam produk herbal,
karena dalam penggunaaan jangka panjang dapat mengganggu organ hati dan ginjal.
Disamping itu secara khusus untuk antidiabetes kandungan myristicin ini
bertentangan untuk terapi diabetes, karena
menyebabkan efek halusinogen dan sedative, dimana setelah meminumnya
akan timbul rasa kantuk, sehingga dikembangkan cara penyediaan ekstrak pala
yang bebas safrol dan miristisin.
Sebagai
obat anti-diabetes, pada penelitian ini ditemukan aktivitas baru dari ekstrak
biji pala dengan zat aktif dehydrodiidoeugenola sebagai agonis ganda PPAR g/a, cara pembuatan, dan penggunaan pala
sebagai salah satu atau seluruh bagian obat anti-diabetes telah dipatenkan pada
tahun 2010. Pada tahun 2011, DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Dikti), memilih penelitian yang sudah dibiayai untuk dipatenkan, maka
terpilihlah penelitian pala Dr. Keri Lestari untuk dipatenkan sebagai
anti-dislipidemi (abnormalitas metabolisme lemak), dan kini obatnya
dikembangkan dalam bentuk tablet.
Pemilihan pala sebagai kandungan
utama obat ini pun didasari oleh kemanfaatannya untuk pengobatan diabetes,
yaitu sebagai antihiperglikemi, antidislipidemi, antiinflamasi, dan
antioksidan. Hal-hal tersebut pula dapat mengurangi risiko komplikasi pada
pasien diabetes. Selain itu, kelebihan yang dimiliki pala dibandingkan dengan obat
diabetes lain adalah aktivitas agonis ganda
PPAR g/a, dan bersifat
antihiperglikemik dan antidislipidemi.
Hal ini sesuai dengan tren
pengembangan obat antidiabetes di beberapa Negara maju, dimana saat ini sedang
dikembangkan obat-obat yang mengandung agonis ganda PPAR g/a seperti pala. Sedangkan beberapa obat
sejenis yang dikembangkan, seperti muraglitasar dan tesaglitasar memiliki
resiko efek samping yang menyebabkan tumor. Di lain pihak, keistimewaan pala
yakni memiliki kandungan anti-tumor, sehingga resiko efek samping tersebut
dapat dihindari.
Pala, Tak Hanya di Pulau Banda
Beragam jenis olahan pala yang dijual di toko oleh-oleh. Olahan pala merupakan penganan khas. Bentuk olahannya berupa pala basah, pala kering, dan dodol pala. |
"Untuk
riset ini, saya menggunakan pala dari Wanayasa, tempatnya dekat dengan
Bandung" ungkap Dr. Keri Lestari. Itulah kalimat yang membuat saya
penasaran, ada apa dengan Wanayasa? Sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten
Purwakarta, Jawa Barat sekitar 83 km dari Bandung ini memiliki potensi luar
biasa dalam pembudidayaan pala. Kebanyakan orang menganggap pala dengan
kualitas baik hanya tumbuh di tanah leluhurnya, Pulau di Maluku Selatan. Namun,
masyarakat Jawa Barat pun perlu tahu, ada sebuah tempat di kaki Gunung
Burangrang yang menjadi penghasil pala dengan kualitas baik.
Saya memiliki
kesempatan mengunjungi Wanayasa, Purwakarta dan langsung mengunjungi toko
oleh-oleh khas Wanayasa milik Bu Yulia yang telah berdiri selama 16 tahun.
Ternyata, produk olahan pala yang dijual di sana beraneka ragam, mulai dari
pala basah, pala kering, hingga dodol pala.
Rika, remaja
usia belasan, pramusaji yang bekerja di toko tersebut menunjukkan pohon pala
yang ada di sekitar toko tersebut. Rika memang hanya lulusan Sekolah Menengah
Pertama, tapi saya banyak belajar darinya, termasuk tentang pohon pala. Rika
menunjukkan kunci rahasia menebak pohon pala yang benar. Ya, bagi saya orang
awam yang sama sekali tidak tahu bentuk pohon pala, adalah sebuah pelajaran
berharga mengetahui bahwa bentuk pohon pala itu unik, "Coba bisa teteh
lihat bentuk pohon pala itu unik, kerucut mirip bentuk pohon cemara,"
jelasnya dengan logat Sunda yang khas.
Jika pada zaman
Romawi harga biji dan fili pala bisa lebih mahal dari emas, kini anggapan
tersebut rasanya tak berlaku lagi. Menurut Bu Yulia, biji pala kini bisa
diperoleh dengan harga Rp80 ribu per kilogram saja, jauh beda dibandingkan
harga emas yang mencapai Rp500 ribu per gram. Sedangkan, harga daging pala yang
belum diolah lebih murah lagi, hanya Rp5 ribu per kilogram, dan harga pala utuh
yang belum diolah hanya sekitar Rp3 ribu per kilogram.
Meskipun sejarah
telah berubah, pala telah menjadi ujung kompas arah peradaban bangsa. Menjadi
salah satu alasan monopoli dan kolonialisasi negeri selama lebih dari tiga
abad, menjadi pemicu pemberontakan rakyat, menjadi gerbang bagi lahirnya
penemuan dan ilmu pengetahuan, dan menjadi salah satu alasan untuk mencintai
dan mengabdi pada negeri.
SILAKAN BANDINGKAN DENGAN,
Kompas, 25 September 2012 |
"Apresiasi" Diri
Seperti biasa sudah jadwalnya apresiasi. Ya, tugas apresiasi ini memang khas di jurusan saya, Jurnalistik. Tugasnya pun dikasih sama dosen legendaris Fikom kayanya, ya Pak Sahala Tua Saragih. Salah satu tugas saya itu harus apresiasi rubrik "Kampus" di Kompas, Selasa 25 September 2012, tapi kalo diliat-liat ada yang aneh sama bahan apresiasi saya minggu lalu, ternyata saya harus apresiasi tulisan saya sendiri yang dipangkas habis-habisan, angle-nya pun berubah total -___-*
Kalau ada yang sempat baca, di sana tulisan saya dirombak habis-habisan. Post berikutnya akan saya post selengkap-lengkapnya :)
Kompas, 25/9/12 |
Saturday, September 29, 2012
Wisata Malam Semarang
Jalan-jalan di Semarang ditemani @annisaicaaa @nickyaulia dan @chesasera keliling kota sebelum acara #conservation2nd di Karimun Jawa
MIRIP
Cukup menohok juga sih baca headline Pikiran Rakyat (27/5). Mirip banget sama tulisan gue mulai dari judul, foto, sampe angle. Yang beda isi sama orang yang diwawancarain. Hahahahahaahaha lucu yah?
Thursday, May 10, 2012
Moammar Emka Undercover
Ditemui di sela-sela kegiatan promosi
buku terbarunya Dear You, di salah satu café yang terletak di sebuah
pusat perbelanjaan elit di wilayah Senayan, Jakarta, Selasa 6 Desember 2011. Sang
penulis, Moammar Emka menjelaskan banyak hal dibalik pembuatan buku-bukunya
terutama buku yang paling fenomenal, Jakarta
Undercover, “Sambil koreksi ini, buku baru, untuk cetakan buku selanjutnya ya”, ungkapnya
santai.
Moammar Emka, saat diwawancarai di
Shasbu Café, Plaza Senayan, Jakarta. Selasa (6/12)
|
Ia
menjelaskan mengenai ketertarikannya di dunia menulis sejak awal, ia mengaku
dunia jurnalistiklah yang membesarkan namanya. Tak pernah terpikir sebelumnya
akan menjadi wartawan “spesialis” dunia
entertainment dan lifestyle.
Dengan gaya bicara yang santai dan blak-blakan Ia mengutarakan keterlibatannya
dalam setiap proses investigasi, mulai dari liputan sashimi girl, striptease,
spa dan salon dengan pelayanan plus plus, hingga puncaknya pesta bugil
bersama.
“Basic tulisan saya juga kan nggak ada entertainment, saya nggak
tahu lifestyle, orang anak IAIN lifestyle-nya gimana sih dulu. Orang kita juga nggak punya duit, gaji juga cuma berapa kan, nggak punya mobil, kemana-mana naik angkot, sehari-hari untuk nambah
uang makan juga ngamen,” ucap alumnus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Kecintaannya terhadap dunia jurnalistiklah
yang membuatnya menjalin relasi di dunia hiburan dari nol, hijrah dari café ke
café untuk mendapatkan bahan berita hingga kini menjalin hubungan pertemanan
yang baik dengan banyak selebritas ibukota.
Tak pernah disangka
sebelumnya bahwa sang penulis buku non-fiksi bertema kehidupan prostitusi papan
atas Jakarta ini adalah seorang ‘anak pesantren’ yang dibesarkan di keluarga
da’i moderat. Tak pernah Ia sangka, buku pertamanya Jakarta Undercover yang
membuatnya sempat mendapat teror dan ancaman, melejit hingga dialihbahasakan ke
dalam bahasa Inggris dan dijual pula ke beberapa Negara.
Citra sebagai penulis
novel bertema seks dan kehidupan prostitusi papan atas Jakarta pun sudah
terlanjur melekat, Ia sendiri tak ambil pusing dengan berbagai stereotype yang orang berikan. Saat ini,
konsentrasinya berpusat pada pembuktian diri bahwa bukan hanya buku dengan tema
esek-esek saja yang Ia tulis. Pengetahuannya tentang dunia prostitusi papan atas
ibukota pun akan kembali dibuktikan dengan buku terbarunya yang hampir serupa
dengan Jakarta Undercover yang akan
diluncurkan tahun depan.
Sejak kapan kegiatan menulis Anda
dimulai?
Mulai nulis dari zaman Sekolah
Menengah Atas (SMA), tapi itu bukan artikel tapi lebih ke nulis cerpen, ya…
cerita-cerita cinta picisan lah.
Buku pertama Anda langsung meledak.
Bagaimana tanggapannya?
Wah nggak nyangka juga. Intinya waktu itu bikin bukunya sendiri karena kerjaan gue wartawan, terus gue
punya banyak bahan dari dunia malam, banyak banget,
terus sayang aja kalau nggak
dibukukan. Yasudahlah, waktu itu juga prosesnya lama, enam tahun akhirnya
terkumpul bahannya. Enam tahun itu bahan-bahan yang bagus dikumpulkan, akhirnya
jadilah Jakarta Undercover 1.
Bahan Jakarta Undercover sendiri
sebenarnya untuk majalah kan ya?
Dulu sih sebagian dimuat di majalah,
sebagian lagi memang belum pernah
dimuat.
Lebih enak jadi wartawan atau jadi
penulis?
Sama… sama enaknya sebenarnya, cuma
kalau jurnalis kan dibawah perusahaan, jadi dia punya aturan main sendiri,
mulai dari editing, dan lain-lain,
pasti ada koridor-koridornya. Sebenarnya nggak
jauh beda sama penulis buku, enaknya jadi penulis buku adalah bebas saja. Itu
kan ekspresinya, ekspresi kita, kita menuangkannya seperti apa, kita lebih
enak, lebih leluasa, lebih bebas, free saja. Kalau jadi jurnalis juga kan
terkait dengan space, jatah halamannya
berapa. Tapi, kalau buat saya, dua-duanya sama enak, karena sampai sekarang
saya juga masih tetap menulis untuk majalah, artinya masih liputan kalau lagi pengen. Kalau nyari bahan yang bagus kan harus liputan lagi.
Dulu katanya anak pesantren ya?
Ooo iya itu…
Kok tertarik sih meliput dunia
hiburan, dan menulis Jakarta Undercover, kan temanya itu berarti dekat dengan “dunia
hiburan”?
Ya nggak
juga sih, kalau menurut saya kan latar belakang pendidikan orang itu nggak terlalu connected lah, misalnya dia harus selalu menjadi benang merah bahwa
seseorang itu nantinya akan bekerja sebagai apa. Kalau untuk saya, dimanapun
orang bersekolah, kuliah, latar pendidikannya mau umum kek, agama kek, ya in the end itu tidak akan menentukan
orang mau kemana. Pada akhirnya, yang menentukan kemudian adalah, bagaimana
orang tersebut terjun ke lapangan, dan yang membesarkan saya adalah dunia
wartawan, karena saya kerja pontang-panting itu. Saya kuliah pun kan sudah jadi
wartawan, dan itu pun nggak pernah kepikiran
someday saya akan jadi wartawan, nggak kepikiran, itu kan mengalir saja gitu.
Sebenarnya, dulu inginnya menjadi apa?
Kan dulu banyak ya, kalau ditanya mau
jadi apa, mau jadi da’i lah, apa lah. Pasti setiap orang itu punya titik balik,
paling nggak tiga kali titik balik.
Zaman SMA, ngebet banget misalnya pengen jadi da’i kaya bokap. Dalam perjalanannya kandas,
karena sudah bertemu dengan dunia baru, mulai kuliah, mulai ketemu orang-orang
baru, daftar bacaan juga baru, lingkungan baru, semua baru, pengalamannya juga
pasti baru. Ternyata, setiap orang pasti mengalami pencerahan, ternyata ada
dunia lain yang lebih menarik untuk ditekuni, dan pilihan saya waktu itu memang
menjadi wartawan. Walaupun saya belajar Sastra Arab, tetap buat saya yang
menarik itu dunia wartawan. Waktu kuliah semester 5, saya sudah mulai kerja melamar
sebagai wartawan, dan waktu itu susah, karena dulu koran sedikit, seleksinya
ratusan, empat ratusan orang, yang diterima paling cuma dua belas. Gue ngalamin proses itu, saingannya S1
semua, sementara gue masih kuliah, belum lulus.
Basic dunia wartawannya sendiri
didapat darimana?
Ya… karena zaman kuliah dulu saya memang aktif.
Dulu kan kita nggak punya referensi
apa-apa, pengalaman kerja nggak
punya, selain pengalaman beberapa artikel memang pernah dimuat di beberapa
media cetak ibukota. Ya itu saja referensinya, dan ternyata lumayan membantu,
ketika melamar menjadi wartawan, itu merupakan nilai jual tersendiri.
Bagaimana ceritanya, hingga
“terdampar” di bagian entertainment dan lifestyle?
Kan ada tesnya juga,tesnya nggak main-main juga mulai tes tulis
sampai tes lapangan, itu juga ada tahap tiga bulan percobaan gitu kan, dua minggu sampai satu bulan
ada yang namanya posting. Posting itu adalah penempatan pos-pos,
misalnya kamu di bagian kriminal, selama dua minggu kamu harus stay di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah
sakit mana, misalnya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Kemudian bulan
depan, pindah ke desk politik, desk politik yasudah, liputannya tentang
politik, nanti ada desk sosial.
Sampai akhirnya nggak tahu kenapa
dapatlah penempatan desk lifestyle, entertainment lifestyle, dan nggak tahu
kenapa nggak dipindah-pindah. Padahal
basic tulisan saya juga kan nggak ada entertainment, saya nggak
tahu lifestyle, orang anak IAIN lifestyle-nya gimana sih dulu. Orang kita juga nggak punya duit, gaji juga cuma berapa kan, nggak punya mobil, kemana-mana naik angkot, sehari-hari untuk
nambah uang makan juga ngamen. Jadi,
mengalami proses itu, masuk café,
boro-boro, duit darimana, buat makan saja susah.
Kenalnya dulu darimana dengan dunia entertainment dan lifestyle?
Ya, namanya juga wartawan, otomatis
punya akses, ya enak kalau buat saya. Kalau punya akses, itu berarti merupakan
pintu untuk masuk ke dunia yang sebenarnya nggak
tentu.
Mendapatkan aksesnya sendiri
bagaimana?
Ya, mulai dari nol. Buat gue emang lebih mudah, karena barangnya
kelihatan. Bisa nonton band, masuk café, people-nya jelas, daripada investigasi yang sifatnya… misalnya
skandal politik, itu kan susah, dalam pandangan gue entertainment sih
lebih mudah, karena objek-objek yang harus gue
tulis itu kelihatan. Walaupun pada waktu itu, karena gue anak cupu, itu ya
memang dari nol. Nol-nya adalah, mau liputan café aja nggak tahu
bagaimana caranya. Misalnya café yang
lagi ngetop apa, gimana caranya, gue kenal sama siapa ya. Karena memang gue nggak
punya akses, ya dari nol. Pada akhirnya memberanikan diri untuk kemudian menjadi
bagian dari entertainment dan lifestyle-nya itu sendiri. Mulailah
kelayapan tiap hari, nongkrong sana nongkrong sini, muterin café sana-sini, ngider saja. Itu yang membuat kemudian gue punya akses. Semua café pasti punya Public Relation (PR), ya deketin saja PR-nya dulu, baru kenal manager-nya,
baru kenal yang punya, baru kemudian kenal orang-orangnya. Yasudah pada
akhirnya bagitu saja.
Saya sempat juga berbincang sekaligus
berdiskusi dengan beberapa orang yang pernah membaca Jakarta Undercover 1,
beberapa diantaranya menyatakan bahwa dalam penceritaannya, Anda seperti tidak
terlibat langsung dan hanya menjadi penonton saja. Nah menanggapi hal itu
sendiri, menurut Anda bagaimana?
Ada yang dinamakan “style”, setiap orang itu ketika menulis
punya gaya, tema apa, itu satu. Yang kedua, penulis itu ya pasti ada goal, ada kepentingan dia ingin
menampilkan tulisannya bergaya apa. Apakah misalnya pengen thriller, pengen
serba misterius. Di Jakarta Undercover
1, karena pada waktu itu kondisinya memang belum
sebebas sekarang, karena waktu itu kan zaman baru turunnya Soeharto, jadi
isu-isu yang saya tulis juga itu underground,
undercover. Sex lifestyle masyarakat
perkotaan dengan segala lika-likunya, itu kan bukan isu gampang, itu susah, dan
nggak semua orang tahu. Jadi ketika menulis
pun, gue harus menempatkan diri
bagaimana mengemas tulisan ini menjadi sesuatu yang menarik sudah pasti, tapi
juga aman bagi gue. Kenapa kemudian
tulisannya adalah di sana ada yang dinamakan “clue”, “dimanakah saya?”. Kan ditulisnya begitu, kadang orang
bertanya, “Sebenarnya dimana sih elu?”,
“Kok setiap kali ending nggak ketahuan elu dimana?”, “Elu
sebenarnya ada nggak sih di tiap
peristiwa?”. Ya, ini kan gaya menulis. Yasudah, itu clue pertama seperti itu.
Anda sendiri terlibat langsung kan
dalam proses investigasi untuk bahan-bahan Jakarta Undercover ini?
Iya, karena ini kan liputan wartawan. Ya nggak mungkin dong bisa nulis se-detail itu kalau tidak melihat kejadian
dengan mata telanjang kan nggak
mungkin.
Apa pengalaman paling hebat dan “wow” selama proses investigasi
untuk pembuatan buku Jakarta Undercover?
Semua ngagetin, nggak ada yang nggak ngagetin. Itu kan potret sex lifestyle,
kegilaan masyarakat kota, semua sih buat
gue ngangetin, karena siapa yang
menyangka akan ada potret seperti itu di Jakarta, kan nggak ada yang menyangka. Selain itu kan tahapannya satu-satu. Gue liputan striptease saja terkaget-kaget lah, itu kan barang baru, karena nggak pernah menonton. Sampai liputan
yang lain semacam sashimi girl, dan
lain-lain. Semua mengagetkan buat saya. Ya puncaknya ketika ada party telanjang bareng kan, itu ya
artinya semua proses dan peristiwa yang ditemui mengagetkan karena bertahap.
Kalau belum apa-apa sudah sampai ke
party telanjang ya nggak mungkin,
susah juga.
Ketika Jakarta Undercover terbit, di
dalamnya kan ada orang-orang yang terlibat dan disebutkan dalam buku meskipun
dengan inisial. Apa ada yang protes atau tidak suka dilibatkan dalam buku
tersebut?
Oh itu sih biasa, nggak usah inisial, begitu buku itu
terbit saja banyak. Teror juga banyak, ya kan pada akhirnya kita harus tahu
batasan menulisnya harus bagaimana, menyampaikannya bagaimana. Karena memang
kondisi waktu itu kan belum bebas,
untuk mengungkap fakta sekelam itu kan butuh keberanian juga. Itulah mengapa,
dari segi kepenulisan juga saya bikin
pakai bahasa keseharian, terus pakai inisial, kenapa juga gue menempatkan diri sebagai pengamat.
Kan banyak dapat teror, biasanya
terornya dalam bentuk apa?
Ya lewat telepon saja, “Wah gila lu,
gini gini gini..”, atau di beberapa tempat gue
dilarang masuk. Begitu lah standar. Pas talkshow
diturunin. Di beberapa tempat diancam-ancam pakai pedang, standar lah. Ya,
artinya mengalami itu, tapi begitu kedua nggak
kok. Begitu kedua, aksesnya malah terbuka lebar. Menulis Jakarta Undercover 2 makanya cuma dua tahun selesai, karena
aksesnya sudah terbuka ya thanks God,
gue leih enak nulis saja.
Perbedaan Jakarta Undercover 1, 2,
dan 3 sendiri apa darisudut pandang Anda sebagai penulis?
Secara teori peliputan memakai teori investigasi
partisipatif, tapi kan gue nulisnya
seolah-olah gue pengamat, pengamat
yang di luar arena. Gue tidak
memposisikan diri sebagai orang luar kan, itu kan di Jakarta Undercover 1,
ketika gue melihat bahwa buku itu
meledak, pada kenyataan ternyata responnya bagus, banyak orang yang ternyata
juga ternganga, padahal sih sebenarnya juga banyak orang sudah tahu, cuma kan nggak berani mengungkap. Ketika Jakarta Undercover 2 terbit, gue
memposisikan diri gue ada di dalam,
kalau diperhatikan dari alur atau gaya tulisan yang dipakai. Di Jakarta Undercover 2, sebenarnya gue ada di
sana, dan sudah jelas tokoh “aku” itu “nongol”.
Kalau di pertama kan “dimanakah saya?”, kalau yang kedua, “di sini loh saya.”,
kalau yang ketiga, “ya gue ancur-ancuran”. Artinya, potretnya sudah
jelas, karena tahapannya sudah lewat lah, ada 1 ada 2, ada 3.
Wah, memang fenomena dunia prostitusi
apa yang saat ini sedang “hot”?
Sudah mulai ada bintang porno luar
negeri sudah mulai nongol. Bintang
porno luar negeri sudah dijual di sini (baca: Indonesia), yang pornonya, ya
begitu deh.
Ada fenomena apa lagi ini memang yang
sedang muncul selain yang tadi disebutkan?
Ahh, nanti saja buat buku baru lagi
hahaha…
Waktu menulis Jakarta Undercover, apa
sempat terpikir kalau buku itu akan membuka jalan akses bagi orang lain menuju
ke dunia hiburan, yang sebelumnya tidak diketahui orang?
Ya nggak
lah. Ya ini kan kenapa akhirnya gue
pakai inisial, kenapa juga yang gue
tulis itu lebih ke isunya yang telanjang, bukan ke seksnya yang telanjang. Jadi
lebih ke ketelanjangan isu, bukan ketelanjangan seksnya. Jadi, kalau sudah baca
kan nggak ada jorok-joroknya, itu
juga kan tergantung pilihan, kan begitu. Karena dari awal memang tidak ada
maksud untuk membuka jalan apa, justru karena fenomenanya sudah merebak
sedemikian parah, kenapa didiemin?
Kalo buat saya kan begitu. Buku itu juga saya bikin ringan, ringan kalau buat saya, biar informasinya sampai saja.
Orang baca nggak perlu berkerut,
orang baca langsung paham, jadi tidak dibikin
semacam penelitian yang menggunakan aplikasi ini itu, atau survei ini itu.
Karena buat saya, fenomena membaca di sini juga sudah susah, minat bacanya juga
kecil. Jadi, kenapa harus bikin yang
susah-susah. Ini buku yang gampang, mudah dimengerti, bahasanya bahasa
keseharian, dengan tidak mengurangi dan tidak melanggar aturan berbahasa
Indonesia yang baik. Sudah that’s all
kalau prinsip saya sih.
Proses investigasi untuk pembuatan Jakarta Undercover 1 kan sekitar
awal tahun 2000-an, kemudian terus berlanjut dengan seri Jakarta Undercover
2 dan 3. Terjadi perbedaan signifikan tidak dalam perkembangan “dunia hiburan
malam” atau prostitusi di Indonesia khususnya Jakarta?
Dulu disebut “undercover” karena memang tidak ter-ekspos, kalau sekarang itu
berani banget. Kalau sekarang itu
sudah seperti “supermarket seks” lah. Di dalam buku Jakarta Undercover 3 makanya
saya katakan “supermarket seks” kan, karena memang sudah terbuka. Artinya orang
sudah tidak tertutup, sudah bukan undercover
lagi, kalau industrinya sudah bukan undercover
lagi, karena semua orang bisa masuk, yang undercover
itu adalah peristiwa-peristiwa yang melibatkan transaksi komunitas atau
personal, private party lah
contohnya, itu kan yang undercover
karena itu kan nggak semua orang bisa
masuk, nggak semua orang bisa ikut.
Itu yang undercover.
Kalau perbandingan dunia “hiburan
malam” di Indonesia sendiri secara umum dengan di luar negeri yang Anda ketahui
seperti apa?
Di luar kan beberapa memang legal, even Thailand saja kan memasukkan wisata
seksnya sebagai bagian dari “dilegalkan sebagai paket wisata” kan. Devisanya
kan besar, kalau di sini kan nggak.
Di sana nggak perlu takut digerebek
kalau dia mau having fun, kalau di
sini kan ya… nggak digerebek juga sih,
tapi kalau apes digerebek juga kalau
setorannya kurang.
Bagaimana komentar dari orang-orang
terdekat Anda tentang pekerjaan Anda, misalnya kan ayah anda yang seorang da’i,
ketika Jakarta Undercover diterbitkan, wah ternyata anaknya melakukan
proses penilitian dan terlibat langsung dengan “dunia hiburan” tersebut?
Nggak… so far kan itu bagian dari lingkup
pekerjaan wartawan, ya… selama tidak dalam rangka foya-foya kan itu bagian dari
pekerjaan, yasudah.
Tapi dari pihak kelaurga sendiri
tidak ada yang komentar macam-macam?
Nggak, moderat
kok keluarga gue. Artinya mereka support
selama hati-hati, sudah itu saja.
Sampai sekarang hati-hati dong
berarti?
Eeemmm… hati-hati…
Buku Anda kan tidak semua bertema
esek-esek, tapi banyak orang yang mengidentifikasi Anda sebagai penulis buku
dengan tema seks…
Buku gue yang seks Cuma sedikit kok. Itu karena mindset-nya sudah terbentuk. Pada akhirnya entah kenapa akhirnya gue juga tidak melulu membuat buku tentang seks, buku gue ada yang cinta, ada yang apa. Jadi untuk variasi saja, dan
orang juga tidak jenuh, dan yang paling penting adalah gue nggak stuck di satu isu. Nggak stuck sebagai penulis esek-esek melulu. Nggak mau juga,
malas, capai.
Lalu, tanggapannya tentang
orang-orang yang, mengidentifikasi Anda sebagai penulis buku bertema esek-esek
bagaimana?
Nggak apa-apa
, biarkan saja. Kalau lu sekarang liat di twitter,
pasti branding gue sebagai penulis buku-buku “seperti itu” sudah beda, karena gue berusaha, kalau di twitter kan sama
sekali tidak mengekspos seks.
Apakah itu bentuk pembentukan image lain juga?
Nggak, orang
juga ingin sesuatu yang berbeda. Jangan puas juga kemudian gue hanya dikaitkan dan dianggap hanya bisa membuat buku-buku
dengan tema seks. Gue juga bisa menulis
hal yang lain. Pembuktiannya ya itu, dengan gue
menulis buku-buku dengan tema lain. Jadi, ini sebenarnya hanya bagian dari
pembuktian diri saja lah. Tapi kalau orang mau menyebut seperti itu juga nggak apa-apa. Kalau sejauh ini ternyata
gue belum cukup untuk membuktikan diri ya nggak apa-apa, berkarya terus saja.
Selain tema-tema yang sudah pernah
dibuat saat ini, apakah ada tema baru yang ingin dibuat?
Belum
juga, tapi kan tema bisa apapun. Sekarang bagaimana penulis bisa menjadikannya
bacaan yang menarik, yang penting kan itu. Bisa novel, bisa feature, bisa apa. Jakarta
Undercover kalau dibuat novel akan berbeda pastinya, akan menjadi bacaan
yang berbeda. Misalnya someday gue bikin
novel. Sekarang kan dia bentuknya feature
lepas, ya seperti tulisan saya di majalah lah. Itu pasti akan beda ketika
sudah menjadi novel, karena kan ada penokohan, ada karakter, ada banyak hal.
Itu pasti beda, dan mungkin novel akan lebih menarik. Jakarta Undercover mungkin akan menjadi sesuatu yang menarik lagi
kalau dibuat dalam bentuk novel.
Apakah sampai saat ini ada hal-hal
yang belum tercapai dari segala yang sudah Anda buat?
Apa ya… Mau buat bini gue bahagia saja.
Kalau dari segi karya sendiri apa?
Mungkin ini ya, suatu ketika gue ingin membuat novel religi mungkin
ya. Tapi kan nggak tahu kapan, kan
namanya juga nawaitu (dibaca: niat)
boleh. Pengen sih suatu ketika, tapi nggak
tahu kapan.
(***)
Subscribe to:
Posts (Atom)