Ditemui di sela-sela kegiatan promosi
buku terbarunya Dear You, di salah satu café yang terletak di sebuah
pusat perbelanjaan elit di wilayah Senayan, Jakarta, Selasa 6 Desember 2011. Sang
penulis, Moammar Emka menjelaskan banyak hal dibalik pembuatan buku-bukunya
terutama buku yang paling fenomenal, Jakarta
Undercover, “Sambil koreksi ini, buku baru, untuk cetakan buku selanjutnya ya”, ungkapnya
santai.
Moammar Emka, saat diwawancarai di
Shasbu Café, Plaza Senayan, Jakarta. Selasa (6/12)
|
Ia
menjelaskan mengenai ketertarikannya di dunia menulis sejak awal, ia mengaku
dunia jurnalistiklah yang membesarkan namanya. Tak pernah terpikir sebelumnya
akan menjadi wartawan “spesialis” dunia
entertainment dan lifestyle.
Dengan gaya bicara yang santai dan blak-blakan Ia mengutarakan keterlibatannya
dalam setiap proses investigasi, mulai dari liputan sashimi girl, striptease,
spa dan salon dengan pelayanan plus plus, hingga puncaknya pesta bugil
bersama.
“Basic tulisan saya juga kan nggak ada entertainment, saya nggak
tahu lifestyle, orang anak IAIN lifestyle-nya gimana sih dulu. Orang kita juga nggak punya duit, gaji juga cuma berapa kan, nggak punya mobil, kemana-mana naik angkot, sehari-hari untuk nambah
uang makan juga ngamen,” ucap alumnus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Kecintaannya terhadap dunia jurnalistiklah
yang membuatnya menjalin relasi di dunia hiburan dari nol, hijrah dari café ke
café untuk mendapatkan bahan berita hingga kini menjalin hubungan pertemanan
yang baik dengan banyak selebritas ibukota.
Tak pernah disangka
sebelumnya bahwa sang penulis buku non-fiksi bertema kehidupan prostitusi papan
atas Jakarta ini adalah seorang ‘anak pesantren’ yang dibesarkan di keluarga
da’i moderat. Tak pernah Ia sangka, buku pertamanya Jakarta Undercover yang
membuatnya sempat mendapat teror dan ancaman, melejit hingga dialihbahasakan ke
dalam bahasa Inggris dan dijual pula ke beberapa Negara.
Citra sebagai penulis
novel bertema seks dan kehidupan prostitusi papan atas Jakarta pun sudah
terlanjur melekat, Ia sendiri tak ambil pusing dengan berbagai stereotype yang orang berikan. Saat ini,
konsentrasinya berpusat pada pembuktian diri bahwa bukan hanya buku dengan tema
esek-esek saja yang Ia tulis. Pengetahuannya tentang dunia prostitusi papan atas
ibukota pun akan kembali dibuktikan dengan buku terbarunya yang hampir serupa
dengan Jakarta Undercover yang akan
diluncurkan tahun depan.
Sejak kapan kegiatan menulis Anda
dimulai?
Mulai nulis dari zaman Sekolah
Menengah Atas (SMA), tapi itu bukan artikel tapi lebih ke nulis cerpen, ya…
cerita-cerita cinta picisan lah.
Buku pertama Anda langsung meledak.
Bagaimana tanggapannya?
Wah nggak nyangka juga. Intinya waktu itu bikin bukunya sendiri karena kerjaan gue wartawan, terus gue
punya banyak bahan dari dunia malam, banyak banget,
terus sayang aja kalau nggak
dibukukan. Yasudahlah, waktu itu juga prosesnya lama, enam tahun akhirnya
terkumpul bahannya. Enam tahun itu bahan-bahan yang bagus dikumpulkan, akhirnya
jadilah Jakarta Undercover 1.
Bahan Jakarta Undercover sendiri
sebenarnya untuk majalah kan ya?
Dulu sih sebagian dimuat di majalah,
sebagian lagi memang belum pernah
dimuat.
Lebih enak jadi wartawan atau jadi
penulis?
Sama… sama enaknya sebenarnya, cuma
kalau jurnalis kan dibawah perusahaan, jadi dia punya aturan main sendiri,
mulai dari editing, dan lain-lain,
pasti ada koridor-koridornya. Sebenarnya nggak
jauh beda sama penulis buku, enaknya jadi penulis buku adalah bebas saja. Itu
kan ekspresinya, ekspresi kita, kita menuangkannya seperti apa, kita lebih
enak, lebih leluasa, lebih bebas, free saja. Kalau jadi jurnalis juga kan
terkait dengan space, jatah halamannya
berapa. Tapi, kalau buat saya, dua-duanya sama enak, karena sampai sekarang
saya juga masih tetap menulis untuk majalah, artinya masih liputan kalau lagi pengen. Kalau nyari bahan yang bagus kan harus liputan lagi.
Dulu katanya anak pesantren ya?
Ooo iya itu…
Kok tertarik sih meliput dunia
hiburan, dan menulis Jakarta Undercover, kan temanya itu berarti dekat dengan “dunia
hiburan”?
Ya nggak
juga sih, kalau menurut saya kan latar belakang pendidikan orang itu nggak terlalu connected lah, misalnya dia harus selalu menjadi benang merah bahwa
seseorang itu nantinya akan bekerja sebagai apa. Kalau untuk saya, dimanapun
orang bersekolah, kuliah, latar pendidikannya mau umum kek, agama kek, ya in the end itu tidak akan menentukan
orang mau kemana. Pada akhirnya, yang menentukan kemudian adalah, bagaimana
orang tersebut terjun ke lapangan, dan yang membesarkan saya adalah dunia
wartawan, karena saya kerja pontang-panting itu. Saya kuliah pun kan sudah jadi
wartawan, dan itu pun nggak pernah kepikiran
someday saya akan jadi wartawan, nggak kepikiran, itu kan mengalir saja gitu.
Sebenarnya, dulu inginnya menjadi apa?
Kan dulu banyak ya, kalau ditanya mau
jadi apa, mau jadi da’i lah, apa lah. Pasti setiap orang itu punya titik balik,
paling nggak tiga kali titik balik.
Zaman SMA, ngebet banget misalnya pengen jadi da’i kaya bokap. Dalam perjalanannya kandas,
karena sudah bertemu dengan dunia baru, mulai kuliah, mulai ketemu orang-orang
baru, daftar bacaan juga baru, lingkungan baru, semua baru, pengalamannya juga
pasti baru. Ternyata, setiap orang pasti mengalami pencerahan, ternyata ada
dunia lain yang lebih menarik untuk ditekuni, dan pilihan saya waktu itu memang
menjadi wartawan. Walaupun saya belajar Sastra Arab, tetap buat saya yang
menarik itu dunia wartawan. Waktu kuliah semester 5, saya sudah mulai kerja melamar
sebagai wartawan, dan waktu itu susah, karena dulu koran sedikit, seleksinya
ratusan, empat ratusan orang, yang diterima paling cuma dua belas. Gue ngalamin proses itu, saingannya S1
semua, sementara gue masih kuliah, belum lulus.
Basic dunia wartawannya sendiri
didapat darimana?
Ya… karena zaman kuliah dulu saya memang aktif.
Dulu kan kita nggak punya referensi
apa-apa, pengalaman kerja nggak
punya, selain pengalaman beberapa artikel memang pernah dimuat di beberapa
media cetak ibukota. Ya itu saja referensinya, dan ternyata lumayan membantu,
ketika melamar menjadi wartawan, itu merupakan nilai jual tersendiri.
Bagaimana ceritanya, hingga
“terdampar” di bagian entertainment dan lifestyle?
Kan ada tesnya juga,tesnya nggak main-main juga mulai tes tulis
sampai tes lapangan, itu juga ada tahap tiga bulan percobaan gitu kan, dua minggu sampai satu bulan
ada yang namanya posting. Posting itu adalah penempatan pos-pos,
misalnya kamu di bagian kriminal, selama dua minggu kamu harus stay di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah
sakit mana, misalnya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Kemudian bulan
depan, pindah ke desk politik, desk politik yasudah, liputannya tentang
politik, nanti ada desk sosial.
Sampai akhirnya nggak tahu kenapa
dapatlah penempatan desk lifestyle, entertainment lifestyle, dan nggak tahu
kenapa nggak dipindah-pindah. Padahal
basic tulisan saya juga kan nggak ada entertainment, saya nggak
tahu lifestyle, orang anak IAIN lifestyle-nya gimana sih dulu. Orang kita juga nggak punya duit, gaji juga cuma berapa kan, nggak punya mobil, kemana-mana naik angkot, sehari-hari untuk
nambah uang makan juga ngamen. Jadi,
mengalami proses itu, masuk café,
boro-boro, duit darimana, buat makan saja susah.
Kenalnya dulu darimana dengan dunia entertainment dan lifestyle?
Ya, namanya juga wartawan, otomatis
punya akses, ya enak kalau buat saya. Kalau punya akses, itu berarti merupakan
pintu untuk masuk ke dunia yang sebenarnya nggak
tentu.
Mendapatkan aksesnya sendiri
bagaimana?
Ya, mulai dari nol. Buat gue emang lebih mudah, karena barangnya
kelihatan. Bisa nonton band, masuk café, people-nya jelas, daripada investigasi yang sifatnya… misalnya
skandal politik, itu kan susah, dalam pandangan gue entertainment sih
lebih mudah, karena objek-objek yang harus gue
tulis itu kelihatan. Walaupun pada waktu itu, karena gue anak cupu, itu ya
memang dari nol. Nol-nya adalah, mau liputan café aja nggak tahu
bagaimana caranya. Misalnya café yang
lagi ngetop apa, gimana caranya, gue kenal sama siapa ya. Karena memang gue nggak
punya akses, ya dari nol. Pada akhirnya memberanikan diri untuk kemudian menjadi
bagian dari entertainment dan lifestyle-nya itu sendiri. Mulailah
kelayapan tiap hari, nongkrong sana nongkrong sini, muterin café sana-sini, ngider saja. Itu yang membuat kemudian gue punya akses. Semua café pasti punya Public Relation (PR), ya deketin saja PR-nya dulu, baru kenal manager-nya,
baru kenal yang punya, baru kemudian kenal orang-orangnya. Yasudah pada
akhirnya bagitu saja.
Saya sempat juga berbincang sekaligus
berdiskusi dengan beberapa orang yang pernah membaca Jakarta Undercover 1,
beberapa diantaranya menyatakan bahwa dalam penceritaannya, Anda seperti tidak
terlibat langsung dan hanya menjadi penonton saja. Nah menanggapi hal itu
sendiri, menurut Anda bagaimana?
Ada yang dinamakan “style”, setiap orang itu ketika menulis
punya gaya, tema apa, itu satu. Yang kedua, penulis itu ya pasti ada goal, ada kepentingan dia ingin
menampilkan tulisannya bergaya apa. Apakah misalnya pengen thriller, pengen
serba misterius. Di Jakarta Undercover
1, karena pada waktu itu kondisinya memang belum
sebebas sekarang, karena waktu itu kan zaman baru turunnya Soeharto, jadi
isu-isu yang saya tulis juga itu underground,
undercover. Sex lifestyle masyarakat
perkotaan dengan segala lika-likunya, itu kan bukan isu gampang, itu susah, dan
nggak semua orang tahu. Jadi ketika menulis
pun, gue harus menempatkan diri
bagaimana mengemas tulisan ini menjadi sesuatu yang menarik sudah pasti, tapi
juga aman bagi gue. Kenapa kemudian
tulisannya adalah di sana ada yang dinamakan “clue”, “dimanakah saya?”. Kan ditulisnya begitu, kadang orang
bertanya, “Sebenarnya dimana sih elu?”,
“Kok setiap kali ending nggak ketahuan elu dimana?”, “Elu
sebenarnya ada nggak sih di tiap
peristiwa?”. Ya, ini kan gaya menulis. Yasudah, itu clue pertama seperti itu.
Anda sendiri terlibat langsung kan
dalam proses investigasi untuk bahan-bahan Jakarta Undercover ini?
Iya, karena ini kan liputan wartawan. Ya nggak mungkin dong bisa nulis se-detail itu kalau tidak melihat kejadian
dengan mata telanjang kan nggak
mungkin.
Apa pengalaman paling hebat dan “wow” selama proses investigasi
untuk pembuatan buku Jakarta Undercover?
Semua ngagetin, nggak ada yang nggak ngagetin. Itu kan potret sex lifestyle,
kegilaan masyarakat kota, semua sih buat
gue ngangetin, karena siapa yang
menyangka akan ada potret seperti itu di Jakarta, kan nggak ada yang menyangka. Selain itu kan tahapannya satu-satu. Gue liputan striptease saja terkaget-kaget lah, itu kan barang baru, karena nggak pernah menonton. Sampai liputan
yang lain semacam sashimi girl, dan
lain-lain. Semua mengagetkan buat saya. Ya puncaknya ketika ada party telanjang bareng kan, itu ya
artinya semua proses dan peristiwa yang ditemui mengagetkan karena bertahap.
Kalau belum apa-apa sudah sampai ke
party telanjang ya nggak mungkin,
susah juga.
Ketika Jakarta Undercover terbit, di
dalamnya kan ada orang-orang yang terlibat dan disebutkan dalam buku meskipun
dengan inisial. Apa ada yang protes atau tidak suka dilibatkan dalam buku
tersebut?
Oh itu sih biasa, nggak usah inisial, begitu buku itu
terbit saja banyak. Teror juga banyak, ya kan pada akhirnya kita harus tahu
batasan menulisnya harus bagaimana, menyampaikannya bagaimana. Karena memang
kondisi waktu itu kan belum bebas,
untuk mengungkap fakta sekelam itu kan butuh keberanian juga. Itulah mengapa,
dari segi kepenulisan juga saya bikin
pakai bahasa keseharian, terus pakai inisial, kenapa juga gue menempatkan diri sebagai pengamat.
Kan banyak dapat teror, biasanya
terornya dalam bentuk apa?
Ya lewat telepon saja, “Wah gila lu,
gini gini gini..”, atau di beberapa tempat gue
dilarang masuk. Begitu lah standar. Pas talkshow
diturunin. Di beberapa tempat diancam-ancam pakai pedang, standar lah. Ya,
artinya mengalami itu, tapi begitu kedua nggak
kok. Begitu kedua, aksesnya malah terbuka lebar. Menulis Jakarta Undercover 2 makanya cuma dua tahun selesai, karena
aksesnya sudah terbuka ya thanks God,
gue leih enak nulis saja.
Perbedaan Jakarta Undercover 1, 2,
dan 3 sendiri apa darisudut pandang Anda sebagai penulis?
Secara teori peliputan memakai teori investigasi
partisipatif, tapi kan gue nulisnya
seolah-olah gue pengamat, pengamat
yang di luar arena. Gue tidak
memposisikan diri sebagai orang luar kan, itu kan di Jakarta Undercover 1,
ketika gue melihat bahwa buku itu
meledak, pada kenyataan ternyata responnya bagus, banyak orang yang ternyata
juga ternganga, padahal sih sebenarnya juga banyak orang sudah tahu, cuma kan nggak berani mengungkap. Ketika Jakarta Undercover 2 terbit, gue
memposisikan diri gue ada di dalam,
kalau diperhatikan dari alur atau gaya tulisan yang dipakai. Di Jakarta Undercover 2, sebenarnya gue ada di
sana, dan sudah jelas tokoh “aku” itu “nongol”.
Kalau di pertama kan “dimanakah saya?”, kalau yang kedua, “di sini loh saya.”,
kalau yang ketiga, “ya gue ancur-ancuran”. Artinya, potretnya sudah
jelas, karena tahapannya sudah lewat lah, ada 1 ada 2, ada 3.
Wah, memang fenomena dunia prostitusi
apa yang saat ini sedang “hot”?
Sudah mulai ada bintang porno luar
negeri sudah mulai nongol. Bintang
porno luar negeri sudah dijual di sini (baca: Indonesia), yang pornonya, ya
begitu deh.
Ada fenomena apa lagi ini memang yang
sedang muncul selain yang tadi disebutkan?
Ahh, nanti saja buat buku baru lagi
hahaha…
Waktu menulis Jakarta Undercover, apa
sempat terpikir kalau buku itu akan membuka jalan akses bagi orang lain menuju
ke dunia hiburan, yang sebelumnya tidak diketahui orang?
Ya nggak
lah. Ya ini kan kenapa akhirnya gue
pakai inisial, kenapa juga yang gue
tulis itu lebih ke isunya yang telanjang, bukan ke seksnya yang telanjang. Jadi
lebih ke ketelanjangan isu, bukan ketelanjangan seksnya. Jadi, kalau sudah baca
kan nggak ada jorok-joroknya, itu
juga kan tergantung pilihan, kan begitu. Karena dari awal memang tidak ada
maksud untuk membuka jalan apa, justru karena fenomenanya sudah merebak
sedemikian parah, kenapa didiemin?
Kalo buat saya kan begitu. Buku itu juga saya bikin ringan, ringan kalau buat saya, biar informasinya sampai saja.
Orang baca nggak perlu berkerut,
orang baca langsung paham, jadi tidak dibikin
semacam penelitian yang menggunakan aplikasi ini itu, atau survei ini itu.
Karena buat saya, fenomena membaca di sini juga sudah susah, minat bacanya juga
kecil. Jadi, kenapa harus bikin yang
susah-susah. Ini buku yang gampang, mudah dimengerti, bahasanya bahasa
keseharian, dengan tidak mengurangi dan tidak melanggar aturan berbahasa
Indonesia yang baik. Sudah that’s all
kalau prinsip saya sih.
Proses investigasi untuk pembuatan Jakarta Undercover 1 kan sekitar
awal tahun 2000-an, kemudian terus berlanjut dengan seri Jakarta Undercover
2 dan 3. Terjadi perbedaan signifikan tidak dalam perkembangan “dunia hiburan
malam” atau prostitusi di Indonesia khususnya Jakarta?
Dulu disebut “undercover” karena memang tidak ter-ekspos, kalau sekarang itu
berani banget. Kalau sekarang itu
sudah seperti “supermarket seks” lah. Di dalam buku Jakarta Undercover 3 makanya
saya katakan “supermarket seks” kan, karena memang sudah terbuka. Artinya orang
sudah tidak tertutup, sudah bukan undercover
lagi, kalau industrinya sudah bukan undercover
lagi, karena semua orang bisa masuk, yang undercover
itu adalah peristiwa-peristiwa yang melibatkan transaksi komunitas atau
personal, private party lah
contohnya, itu kan yang undercover
karena itu kan nggak semua orang bisa
masuk, nggak semua orang bisa ikut.
Itu yang undercover.
Kalau perbandingan dunia “hiburan
malam” di Indonesia sendiri secara umum dengan di luar negeri yang Anda ketahui
seperti apa?
Di luar kan beberapa memang legal, even Thailand saja kan memasukkan wisata
seksnya sebagai bagian dari “dilegalkan sebagai paket wisata” kan. Devisanya
kan besar, kalau di sini kan nggak.
Di sana nggak perlu takut digerebek
kalau dia mau having fun, kalau di
sini kan ya… nggak digerebek juga sih,
tapi kalau apes digerebek juga kalau
setorannya kurang.
Bagaimana komentar dari orang-orang
terdekat Anda tentang pekerjaan Anda, misalnya kan ayah anda yang seorang da’i,
ketika Jakarta Undercover diterbitkan, wah ternyata anaknya melakukan
proses penilitian dan terlibat langsung dengan “dunia hiburan” tersebut?
Nggak… so far kan itu bagian dari lingkup
pekerjaan wartawan, ya… selama tidak dalam rangka foya-foya kan itu bagian dari
pekerjaan, yasudah.
Tapi dari pihak kelaurga sendiri
tidak ada yang komentar macam-macam?
Nggak, moderat
kok keluarga gue. Artinya mereka support
selama hati-hati, sudah itu saja.
Sampai sekarang hati-hati dong
berarti?
Eeemmm… hati-hati…
Buku Anda kan tidak semua bertema
esek-esek, tapi banyak orang yang mengidentifikasi Anda sebagai penulis buku
dengan tema seks…
Buku gue yang seks Cuma sedikit kok. Itu karena mindset-nya sudah terbentuk. Pada akhirnya entah kenapa akhirnya gue juga tidak melulu membuat buku tentang seks, buku gue ada yang cinta, ada yang apa. Jadi untuk variasi saja, dan
orang juga tidak jenuh, dan yang paling penting adalah gue nggak stuck di satu isu. Nggak stuck sebagai penulis esek-esek melulu. Nggak mau juga,
malas, capai.
Lalu, tanggapannya tentang
orang-orang yang, mengidentifikasi Anda sebagai penulis buku bertema esek-esek
bagaimana?
Nggak apa-apa
, biarkan saja. Kalau lu sekarang liat di twitter,
pasti branding gue sebagai penulis buku-buku “seperti itu” sudah beda, karena gue berusaha, kalau di twitter kan sama
sekali tidak mengekspos seks.
Apakah itu bentuk pembentukan image lain juga?
Nggak, orang
juga ingin sesuatu yang berbeda. Jangan puas juga kemudian gue hanya dikaitkan dan dianggap hanya bisa membuat buku-buku
dengan tema seks. Gue juga bisa menulis
hal yang lain. Pembuktiannya ya itu, dengan gue
menulis buku-buku dengan tema lain. Jadi, ini sebenarnya hanya bagian dari
pembuktian diri saja lah. Tapi kalau orang mau menyebut seperti itu juga nggak apa-apa. Kalau sejauh ini ternyata
gue belum cukup untuk membuktikan diri ya nggak apa-apa, berkarya terus saja.
Selain tema-tema yang sudah pernah
dibuat saat ini, apakah ada tema baru yang ingin dibuat?
Belum
juga, tapi kan tema bisa apapun. Sekarang bagaimana penulis bisa menjadikannya
bacaan yang menarik, yang penting kan itu. Bisa novel, bisa feature, bisa apa. Jakarta
Undercover kalau dibuat novel akan berbeda pastinya, akan menjadi bacaan
yang berbeda. Misalnya someday gue bikin
novel. Sekarang kan dia bentuknya feature
lepas, ya seperti tulisan saya di majalah lah. Itu pasti akan beda ketika
sudah menjadi novel, karena kan ada penokohan, ada karakter, ada banyak hal.
Itu pasti beda, dan mungkin novel akan lebih menarik. Jakarta Undercover mungkin akan menjadi sesuatu yang menarik lagi
kalau dibuat dalam bentuk novel.
Apakah sampai saat ini ada hal-hal
yang belum tercapai dari segala yang sudah Anda buat?
Apa ya… Mau buat bini gue bahagia saja.
Kalau dari segi karya sendiri apa?
Mungkin ini ya, suatu ketika gue ingin membuat novel religi mungkin
ya. Tapi kan nggak tahu kapan, kan
namanya juga nawaitu (dibaca: niat)
boleh. Pengen sih suatu ketika, tapi nggak
tahu kapan.
(***)
No comments:
Post a Comment