Trend traveling keliling Indonesia, ya, TREN! Saya ulangi,
TREN ini memang baru berkembang akhir-akhir ini. Tak jelas kapan mulanya, tapi
yang jelas awal 2000-an kegiatan menjelajah alam Indonesia belum popular
kecuali bagi para kelab pegiat alam, pemerhati alam, atau peneliti. Dahulu, sebelum
decade 2000an orang-orang Indonesia lebih banyak yang suka ke luar negeri “katanya”.
Bagi saya mempersoalkan masalah destinasi kemana seseorang
akan melakukan perjalanan, itu bukan urusan saya. Jika memang dipandang dari
sudut pandang “traveling” sendiri. Karena, untuk apa mempermasalahkan
destinasi, toh bagi saya yang merupakan penganut paham Paul Theroux yang
percaya bahwa, “Perjalanan itu bersifat pribadi.
Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu, bukanlah perjalananku,”, selama
mereka mampu, dan mau, mereka bisa pergi kemanapun.
Lain halnya jika dipandang dari sudut
pandang nasionalis-nasionalis yang berkeras sekuat tenaga memajukan pariwisata
Indonesia. Mungkin bagi mereka menjelajahi Indonesia adalah bentuk kontribusi
terhadap sector ekonomi masyarakat sekitar. Hal tersebut juga jelas tidak
salah.
Kemudian, bagi para ibu-ibu sosialita
yang doyan jalan-jalanlayaknya empat sekawan Sex and The City. Pergi ke Dubai
atau Abu Dhabi dengan pelayanan penerbangan kelas satu, bermalam di hotel
termashur dengan segudang pengalaman kelas satu pun bagi saya tak ada yang
salah, termasuk bagi para pejalan yang berorientasi pada budget.
Tidak, sama sekali tidak ada yang
salah. Setiap orang dapat pergi kemanapun, dengan tujuan apapun. Menghilangkan penat,
melakukan penelitian, konservasi, bekerja, menjadi sukarelawan, atau sekedar
buang air pun bagi saya tak masalah. SAMA SEKALI BUKAN MASALAH. DAN TIDAK
SALAH.
Namun, yang membikin saya heran sebenarnya
adalah kenapa harus ada yang mempermasalahkan siapa pergi naik apa, atau siapa
menginap dimana, bahkan siapa pergi kemana sehingga terjadi pengkotak-kotakan,
terkesan ada batas antara traveler jenis ini atau traveler penganut itu.
Sex and the City 2 (doc. google) |
Misal, seseorang pergi keliling Eropa
kemudian berfoto di depan menara Eifel, kemudian ada pihak berkicau, “Yaiyalah,
dia kan banyak duit”, “Yaiyalah dia kan jurnalis traveling wajar aja,
liburannya gratis”, sekalinya ada yang bijak malah berkomentar, “Yausahlah yaa,
Eifel kan mainstream banget”, “Yaeelah Eropa masih kerenan Indonesia”, “Ellaaah
doi kan ribet, ga bisa backpacking tuh pake kalo gitu”.
Yang mau saya bicarakan di sini
adalah, kenapa harus ada pengkategorian semacam itu?
1. Kenapa harus ada yang merasa lebih keren dari yang lain
ketika dia bisa menghabiskan uang lebih sedikit dengan pergi ke tempat-tempat
tertentu?
2. Kenapa harus ada yang merasa lebih keren dari yang lain
ketika dia pergi ke tempat-tempat anti-mainstream (katanya) daripada ke tempat
yang menurutnya mainstream?
3. Kenapa harus ada yang merasa lebih keren kalau pernah pergi
ke tempat-tempat lebih banyak?
4. Kenapa juga harus ada yang mempermasalahkan siapa yang pernah
lebih dulu ke tempat itu?
“Ah gue
kan udah pernah ke tempat itu” (seketika setelah melihat foto seseorang yang ke
sana)
5. Kenapa juga harus ada pertanyaan “Udah pergi kemana aja lo?”
dibandingkan “Gimana, seru ga cerita lo di sana?”?
6. Kenapa harus ada yang mempermasalahkan seseorang pergi dengan
metoda apa (backpacking atau flashpacking lah)?
Backpacker (doc. google) |
Sempat beberapa kali saya mengobrol dengan para backpackers,
dan ketika saya tanya apa bedanya backpacker dengan pejalan lain?
“Backpacking itu kan pada dasarnya traveling dengan menggunakan
backpack” (INI SAYA SETUJU)
“Tapi yang paling membedakannya adalah backpacking adalah
metoda traveling dengan budget seminimal mungkin, dan pengalaman sebanyak
mungkin” (NAH INI SAYA TIDAK SETUJU)
Ah masa, kalo nggak backpacking pengalamannya nggak banyak?
Pengalaman apa dulu?
Nah sebagian orang mungkin terjebak dengan kata “pengalaman”.
Buat saya tidul di hotel mewah dengan pelayanan kelas satu pun akan menjadi
pengalaman mengesankan. Ya siapapun boleh tidak setuju.
Lantas apa lagi yang kita permasalahkan? Apa sih traveling?
Kenapa kita traveling? Apa tujuannya?
Selama kita punya
jawaban masing-masing atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasanya tak ada yang
patut mempermasalahkan atau merasa lebih hebat dari yang lain. Bukankah katanya
si ‘travelingg’ itu yang mengajarkan kearifan dan kerendahan hati? Baiklah, dengan
segala kerendahan hati, ini hanya sebuah pendapat. Sangat dapat disangkal dan
sangat dapat disetujui. :D
No comments:
Post a Comment