Malam itu saat semua sadar
bahwa tak ada lagi keberadaan terang, maka kami mencoba menyalakannya dengan
jentik-jentik dan sedikit letupan kecil di ujung bibir. Menyanyikan apa yang
tak kami rasakan, menghadirkan apa yang tak kami takuti... Kematian.
Dan disaat dek kapal itu
semrawut bercatut dengan lidah-lidah nyinyir gelombang, dengan kedamaian dan
gelora tak ingin mati muda kami siapkan senjata, kami pasang kendali diri.
Hanya satu, rompi oranye itu!
Napas kami tersentaklah, cemas kami teriaklah. Maka, semesta pun tak berani lihat kami melaju. Diam kami di tengah-tengah... di tengah-tengah.
Malam itu disaat semua
berbagi damai indahnya hari pertama Muharram melantunkan 3 putaran Surat Yasin,
kami mencari terang di ujung barat Jawa. Kami coba singkap dengan lagu-lagu
cantik masa kini hingga suara takbir yang memekikkan langit.
Tuhan, ketika itu kami
berbagi langit, kami berbagi sengit.
Tuhan, ketika itu kami
berpegangan, saling teriakan.
Tuhan, ketika itu kami tak
yakin melihat pagi, hanya tangis mereka, ibu kami.
Terima kasih Tuhan, kami tak
jadi mati muda, di Selat Sunda.
Untuk sahabat-sahabatku yang ketika itu berbagi langit, berbagi sengit, berkumpul berhimpit.
No comments:
Post a Comment