Sunday, April 22, 2012

“Bagimu Persib Jiwa Raga Kami”


"Berangkat dari ungkapan Portland Oregonian , “Sepakbola mungkin tidak bisa menjelaskan semuanya, namun bisa dipakai sebagai titik berangkat untuk memahami pergeseran politik, perekonomian global, dan masalah keagamaan,”. Mungkin terlalu berat berbicara isu global kelas kolosal, tapi kami berangkat menuju kandang macan untuk menyimak kecintaan mereka –masyarakat Bandung– terhadap Persib, simbol kejayaan sepakbola Bandung."
Persib, 2011 (Dimas Edi Sembada)


Persib adalah jiwa raga, bagi mereka yang mencintai bukan hanya sekedar hobi, tapi mencintai karena alur napasnya turut ditunjang nama besar sang marsekal biru. Siang itu Bandung pada puncak kulminasi. Kami sambangi markas Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (Persib). Saat itu suasana tampak lengang, karena hampir seluruh pemain, pelatih, dan manajer tim bertandang ke Balikpapan.

Tujuan kami memang bukan untuk melihat anggota tim Persib, mata kami mulai terbuka saat memirsa kecintaan masyarakat Bandung akan tim yang mereka klaim sebagai miliknya. Bagi bobotoh  –Sebutan bagi pendukung Persib– “Persib nu aing” bukan hanya sekedar aksioma retoris, tapi janji bagi sebuah kehormatan.

Persib merupakan salah satu tim besar yang disegani di Indonesia. Hal itu berkat sejarahnya. Hingga saat ini setelah Liga Indonesia pertama Persib memang belum pernah menjadi juara di ajang apapun. Namun yang menarik, meskipun Persib berpuasa gelar selama 19 tahun, bobotoh selalu setia pada Persib. Berbagai komunitas didirikan sebagai ajang perkumpulan para bobotoh, sebut saja Viking, Flower City Casual, dan Bomber.

Ayi Beutik saat siaran di Radio Bobotoh
Ayi Beutik, punggawa di balik berdirinya Viking ini merupakan contoh dimana kecintaan dan fanatisme tersebut berkembang. Ia memberi nama anak pertamanya Jayalah Persibku, dan anak keduanya Usab Perning yang berarti Persib. “Sebenarnya Jaya -panggilan Jayalah Persibku- adalah doa untuk Persib, jadi setiap hari saya memanggil Jaya… Jaya… mungkin hanya saya yang mendoakan Persib setiap jam setiap menit,” tandasnya.
Tak hanya bentuk kecintaan, Ia pun secara gamblang menjelaskan bagaimana awalnya Viking terbentuk. Viking yang pada awalnya beranggotakan 50 orang merupakan komunitas yang cukup radikal. Tiap pertandingan, Ayi mengaku selalu berurusan dengan pihak berwajib, “Sampai dulu saya pernah membuat aturan kalo Anda mau masuk Viking anda harus berkelahi dulu,” tambahnya. Menurut informasi  Ayi, Viking adalah salah satu jaringan supporter sepakbola dunia. Viking se-dunia pernah berkumpul, ada yang berasal dari Napoli,  Jepang,  Milan, dan Spanyol. Untuk kawasan Asia, Viking adalah satu-satunya, dan baru pada tahun 2000 lahir Viking di Shibuya, Jepang. Mendengar kisah Ayi, mengingatkan kami pada Alan Garrison, komandan salah satu kelompok hooligan Inggris yang terorganisasi pada pertengahan tahun 1960-an, dan kecintaannya pada Chelsea.

Menjelajah polah Viking, tentu tak dapat dipisahkan dari permusuhannya dengan The Jak Mania Jakarta. Anarkisme tersebut diakui Ayi merupakan hal biasa dalam sepakbola. Permusuhan Viking dengan The Jak Mania pun berawal pada 1999 ketika itu pertandingan di Stadion Siliwangi, Viking enggan kedatangansupporter tim tamu, ketika kapasitas stadion Siliwangi tak mampu menampung animo bobotoh yang ingin menyaksikan tim kesayangan mereka , tapi The Jak Mania memaksa masuk, akhirnya kerusuhan pun tak terelakan. Cerita pun berlanjut ketika Viking mendukung Tim Nasional Indonesia di Senayan.

Puncaknya adalah pada acara kuis Siapa Berani yang berujung pada perusakan bis yang ditumpangi Viking.
Menurut Yusar, dosen Sosiologi dari Universitas Padjadjaran mengatakan, tidak ada garis mutlak yang dapat menjelaskan fanatisme sejauh apa, karena fanatisme sendiri bersifat relatif. “Kalau pendukung tim tersebut sudah menjiwai slogannya, itu bisa disebut fanatis,” ungkapnya. Fanatisme bobotoh terhadap Bandung dapat disebabkan oleh dua hal, dari dua sisi berbeda yaitu timbulnya lokalisasi kedaerahan dan hasil ekstraksi kapitalisme. Berbincang mengenai hal ini membuat kami membayangkan bagaimana jika Persib kehilangan huruf “B”nya. B untuk kata Bandung merupakan sebuah identitas dan bentuk lokalisasi kedaerahan yang menciptakan ikatan antara pendukung dengan tim kesayangannya. “Lihat saja Persijatim, yang pernah pindah markas ke Solo, orang-orang Jakarta Timur sendiri terlihat tidak merasa dekat dengan Persijatim,” tambahnya.

Lalu bagaimana dengan simbolisasi Persib adalah jiwa raga dan berbagai jargon lainnya? Ia melihat hal tersebut sebagai sebuah jargon yang masuk dalam struktur berpikir, kemudian diterima. Bagi bobotoh, slogan-slogan tersebut nampak seperti sebuah epos yang masuk dan tidak hanya diterima, tapi diaplikasikan dalam kehidupan.

Terkait dengan anarkisme, secara sosiologis Yusar menjelaskan, bagi orang Sunda, keterikatan terhadap “leumah cai” –kampung halaman– sangat tinggi, sehingga bisa saja menutup mata bahwa secara objektif tim lain bermain lebih baik. Fanatisme yang berujung pada anarkisme pun dapat dikaitkan dengan konteks kekinian yang merupakan cerminan tekanan hidup yang memicu naiknya derajat stress warga Bandung. Hal ini dikaitkan dengan anarkisme beberapa oknum supporter saat kemenangan tak berpihak pada Maung Bandung.

Max Timisela, Mantan Pemain Persib dan Tim Nasional Indonesia
Dari segi pemain, supporter dan euforianya diakui dapat dijadikan pembangkit semangat. Max Timisela, salah satu punggawa Persib dan Tim Nasional Indonesia yang berjaya pada pertengahan tahun 60-an hingga akhir tahun 70-an mengungkapkan, bahwa lokalitas pemain jelas berpengaruh. “Sekarang kan mereka imigran kebanyakan. Sudah selesai main ya balik, kalau kita kan pemain lokal, terus kalo kalah, mau dikemanakan muka kita,” tandasnya. Ia menambahkan, perbedaan antara pemain lokal dan pemain asing adalah hati. Ia menambahkan, “Pemain lokal benar-benar mendedikasikan hatinya untuk Persib,”. Max yang dilahirkan di Cimahi ini mengaku, baginya Persib adalah nomor satu, sedangkan keluarga baru nomor dua.

Fanatisme dalam hal ini pun bisa disebut sebagai fanatisme yang evolutif, misalnya klub besar seperti Manchester United (MU), meskipun Indonesia jauh dari Inggris, tapi banyak pula masyarakat Indonesia yang mengidolakan MU hal ini pun dapat disebut sebagai proses kapitalisme lanjutan. “Yang bisa diberi label dan laku, maka hal tersebut akan memberi benefit, bisa dibilang hasil ekstraksi kapitalisme itu sendiri,” jelas Yusar.

Adalah Mudji, pemilik sebuah bengkel sederhana di daerah Jalan Jenderal Achmad Yani, Bandung yang Ia beri nama Radiator Persib. Orang-orang yang menggunakan jasanya mungkin tidak pernah tahu bagaimana Persib bisa menunjang kehidupan bapak yang telah berhasil menyekolahkan dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya dari usaha tersebut. Namun, baginya Persib memiliki arti lain.

“Buat saya Persib itu nomor satu, walaupun belakangan ini Persib tidak seperti dulu lagi,” ungkapnya. Kecintaannya terhadap Persib pun yang telah membuatnya memilih nama unik bagi bengkel berusia 19 tahun yang dulu berlokasi di tanah tempat markas Persib Bandung saat ini berdiri. “Radiator Persib ini sudah ada sebelum stadion dan mess Persib ini semegah sekarang, sampai akhirnya ada renovasi, dan saya tereliminasi karena tidak boleh jualan di dalam,” tambahnya. Meskipun begitu, Ia mengaku kecintaannya terhadap Persib tak pernah berhenti dalam keadaan apapun.

Mudji, Pemilik Radiator Persib
Setali tiga uang dengan Mudji, Toni pewaris bisnis keluarga Mie Kocok Persib pun merasakan hal serupa. Sudah lebih dari 30 tahun, usaha Mie Kocok milik ayahnya berdiri di sarang Maung Bandung ini ada. Bukan hanya dari segi penamaan, kecintaan masyarakat Bandung terhadap klub ini pun mendatangkan keuntungan lebih baginya, “Kalau Persib mau main di Jalak Harupat, sehari sebelumnya banyak supporter yang berkumpul dan makan di sini,” ujarnya.

Yusar pun menambahkan, hasil ekstraksi kapitalisme tersebut dapat Ia lihat di Persib baru-baru ini, sedangkan yang terlihat di Persib dahulu adalah lokalitasnya saja. Menurutnya, saat ini label Persib bisa memberi jaminan keuntungan, maka dapat dipakai sebagai strategi pasar.

Merupakan sebuah pengalaman lain bila dapat meneropong Bandung dari sisi binokuler lain. Kenyataannya bagi sebagian orang, Persib adalah harga diri orang Bandung. Harga diri yang patut dipertahankan. Meski hingga kini Persib belum kembali membuktikan kejumawaannya, tapi hanya bobotoh sejati yang mencinta untuk kalah dan menangnya. Persib, iraha juara deui lur?


No comments:

Post a Comment

Arzia Tivany Wargadiredja