Awalnya, saya tak yakin Rinjani adalah salah satu mozaik hidup saya. Tapi kali ini saya lebih yakin. Lebih dari kulminasi atas.
Minggu malam 26 Juni 2011, tak ada sedikitpun rencana liburan yang pasti. I thought, doing household chores, or other kinds of English course as my TOEFL preparation would be nice. Seketika, tanteku yang biasa kupanggil auntie, menawarkan sebuah liburan super murah dengan pengalaman super mahal. Awalnya kami hanya berencan untuk pergi ke Lombok saja (fullstop), setiap orang awam yang belum tahu Rinjani, pasti membayangkan hanyalah pantai yang terkenal disana, begitu pula dengan seluruh family member saya. Kali ini kami pergi dengan perjalanan super murah. Murahnya lebih dari sekedar backpacking menurut saya. Dan di malam itu pun kami memutuskan untuk ikut pergi ke Rinjani, tanpa memberitahu orang rumah. Maklum, saya belum pernah naik gunung yang benar-benar gunung sebelumnya. Hanya gunung-gunungan.
Saya pergi bersama grup pecinta alam Jantera UPI yang merupakan grup pecinta alam. Mereka tak menyangka saya akan ikut dengan persiaan super minim. Pergi tanpa celana quick dry, tanpa sleeping bag, tanpa gloves, tanpa polar jacket, tanpa rain coat, tanpa sepatu hiking, dan tanpa tanpa lainnya. Saya juga berpikir ide buruk ini akan menyusahkan mereka A Uchan, Bang Ronny, Om Beko, dan Om Beset.
Statsiun Kiaracondong, menunggu kereta sabun colek. |
Malam hari, 27 Juni 2011 berangkatlah kami dengan kereta merk sabun colek. Kadang, banyak iklan rokok, ataupun iklan-iklan filosofis di bulan Ramadhan yang menyajikan kesan bahwa keindahan ada di dalamnya. Keindahan bercengkrama dengan orang baru, dan keindahan mendapatkan tempat duduk. ITU SEMUA BOHONG! Saya mencoba tidak mengeluh, tidak mengeluh baiklah dengan menumpang tempat duduk orang, dan hanya bisa duduk di ujung besinya saja, yang dapat membuat pantat saya berbekas membentuk jalur lahar. Bagaimana dengan keindahan bercengkrama? Untung saja saya masih bisa menemukannya disana, numpang meletakkan keril-keril yang beratnya mungkin sekitar 15 kg, membuat kami sedikit-sedikit mengobrol dengan seorang ibu dengan tujuan stasium Gombong yang suka mengejutkan kami dengan secara tiba-tiba membuka bxxx lalu menyusui anaknya. HELLLOWWW!
(maaf tidak ada gambar untuk ibu-ibu yang sedang menyusui)
(maaf tidak ada gambar untuk ibu-ibu yang sedang menyusui)
Setelah berjuang di kereta sabun colek selama 10 jam, sampai juga kami di Yogyakarta. Rasanya saya ragu tak kepalang, ingin sekali saya sudahi saya di Yogya, lalu kemudian sedikit belanja-belanja di Malioboro, menginap di rumah teman, lalu pulang lagi ke Bandung. Aaaahhh… lupakan. Saya hanya istirahat selama 2 jam, lalu melanjutkan lagi perjalanan kami ke Banyuwangi.
Statsiun Lempuyangan, Yogyakarta |
Lagi-lagi kereta sabun colek. Banyak hal yang belum pernah saya lihat. Saya melewati kampong halaman teman saya Nur di Sragen, lewat tempat wisata Lumpur Sidoarjo (Dasar orang Indonesia), dan menabrak seorang pelanggar rambu lalu lintas sampai tewas. Ya, percaya atau tidak sebelum masuk ke Stasiun Sidoarjo, kereta sabun colek yang saya tumpangi menabrak seorang pengendara motor yang nekad melewati portal saat kereta hendak lewat. Sontak, kereta yang saya naiki maju mundur. Saat itu juga saya baru tahu kalau kereta bisa maju mundur. Sebagai manusia biasa kabar buruknya adalah, saya melihat langsung mayatnya ditandu dan wajah yang ditutupi kardus bekas sebagian sambil bersimbah darah. Saat itu saya sedang benar-benar memegan kamera DSLR saya, tapi memang benar kata orang menal memotret foto juranalistik itu sulit untuk dibentuk. Saya tak sanggup memotret. Ini tanggung jawab moral sodara sodara!
Wisata Lumpur Lapindo, Sidoarjo |
Hal yang paling menggelikan sepanjang saya melintasi Pulau Jawa adalah mendengar suara pedagang-pedang yang berlalu-lalang. Yang paling menggelikan dan yang saya analisis adalah perbedaan orang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dalam menyebut kata “MIZONE”. Mizone yang seharusnya dibaca (mayzon) ini berubah-ubah di tiap tempat. Pedagang Jawa Barat menyebutnya dengan sebutan “MIJON”, Pedangang Jawa Tengah menyebutnya “MISON”, dan Jawa Timur menyebutnya dengan sebutan “MISONE”.
Dari perjalanan “mahal” ini pun saya menyadari bahwa Air Minum kemasan Aqua, memiliki sumber yang berbeda di tiap tempatnya, dan memiliki rasa yang berbeda. Aqua Jawa Barat sumber mata airnya di daerah Subang, Jawa Tengah sumber mata airnya di Klaten, dan Jawa Timur sumber mata airnya dari Gunung Arjuno. Rasanya? Menurut saya agak berbeda, karena saya orang Jawa Barat, menurut saya Aqua Jawa Barat-lah yang paling enak. Hehehe ya, mungkin karena sudah terbiasa lidahnya.
Sampailah kami di stasiun Ketapang Banyuwangi, tanggal 28 Juni 2011 pukul 23.00. Di Stasiun kami bertemu dengan rekan sejawat yang belum kami kenal, teman-teman dari Terra, Grup Pecinta Alam Geofisika ITB yang juga naik kereta sabun colek yang sama dengan kami. Kami pun saling berkenalan, ada mbak Renni, Mas Sapto, Kak Manda, dan Kak Wisnu. Kami pun makan bersama di salah satu kaki lima yang masih buka saat itu.
Kami akhirnya mendapatkan bis dengan tujuan terminal Ubung, Bali yang terkenal kejam itu. Kmai pun menyebrangi selat Bali dengan sebuah kapal Ferry yang butut, berkarat, dan goyang-goyang. Hingga sampailah kami di Pulau Bali. Atmosfer perbedaannya sangat terasa, auranya di pagi buta itu semakin mistis dengan patung-patung dan semak-semak sepanjang jalan.
Hingga, sampailah kami di Terminal Ubung, Bali. Terminal ini sangat tidak disarankan bagi perempuan single fighter, karena keril atau tas anda dapat ditarik-tarik hingga putus oleh beberapa calo yang berebut penumpang. Disini tawar menawar tak dapat berjalan alot, semuanya keras. Saran saja untuk yang belum pernah kesini, tolong anda pasang muka yang lebih galak dari calo, dan harus bisa mengendalikan situasi, semuanya agar anda yang diuntungkan, meskipun itu sangat nihil kemungkinannya.
Selat Bali |
Hingga, sampailah kami di Terminal Ubung, Bali. Terminal ini sangat tidak disarankan bagi perempuan single fighter, karena keril atau tas anda dapat ditarik-tarik hingga putus oleh beberapa calo yang berebut penumpang. Disini tawar menawar tak dapat berjalan alot, semuanya keras. Saran saja untuk yang belum pernah kesini, tolong anda pasang muka yang lebih galak dari calo, dan harus bisa mengendalikan situasi, semuanya agar anda yang diuntungkan, meskipun itu sangat nihil kemungkinannya.
Akhirnya dengan tawar menawar yang cukup crunchy (tidak alot), kita pun mendapatkan bis ke Mataram. Kali ini, kita akan berlayar dari Padang Bay di Bali menuju pelabuhan Lembar di Lombok. Kapal Ferry-nya kali ini lebih manusiawi, walaupun tidak bisa dibilang bagus, setidaknya kami bisa menikmati rooftop kapal laut (Saya menyebutnya rooftop, terserah anda mau bilang apa) sambil berlagak seakan-akan kami adalah Jack dan Rose di Film Titanic.
Selat Lombok |
Sampailah kami di Pulau Lombok, menurut saya, Lombok terlihat lebih bersahabat dengan kami, tidak terlalu mistis seperti Bali, walaupun nuansa Bali masih cukup kental di dalamnya. Sampai di terminal Mataram, kami langsung melanjutkan perjalanan ke daerah Lombok Timur menuju ke daerah kota yang terdekat dengan Sembalun (Pintu jalur menuju Rinjani).
Sepanjang jalan saya menemukan banyak sekali materi untuk komunikasi lintas budaya, mulai dari seorang nenek Lombok yang tidak mengerti Bahasa Indonesia memberi kami pisangnya yang berwarna merah dan menyuruh kami untuk memakannya dengan kata”dahar” yang dalam Bahasa Sunda berarti “makan”. Banyak sekali cerita menuju Sembalun.
Sampai akhirnya kami tiba di sebuah daerah pasar, disana kita ber -10 akan menyewa sebuah pick up yang akan membawa kami ke kantor basecamp Sembalun. Kami pun makan makanan yang rata-rata rasanya pedas, pedas sekali tepatnya. Sebelm maghrib kami pun menaiki pick up untuk melanjutkan perjalanan kami ke pintu Sembalun. Perjalanan ditempuh sekitar 1 sampai 2 jam. Jalannya? Janga ditanya, meliuk-liuk dan berkabut. Seorang yang belum iasa menyetir di daerah itu harus sangat berhati-hati dan saya pikir malah belum tentu mereka bisa melewati jalan seperti itu, terkecuali orang yang sudah sangat terbiasa.
En route: Sembalun |
Akhirnya sekitar pukul 19.00 kami pun tiba di kantor basecamp Sembalun, dan kemudian menginap selama semalam hingga keesokan harinya kita akan melanjutkan perjalanan mendaki Rinjani. Mala mini, saya punya banyak sekali masalah, masalah pertama adalah saya tidak bisa Buang Air Besar, hamper segala metode telah dilakukan, tapi hasilnya nihil. Masalh yang kedua adalah masalah restu, Ibu dan seluruh keluarga saya tidak mengizinkan kami menaiki Rinjani apapun alasannya, sedangkan kami telah berada di pintu Sembalun, tidak ada kendaaan umum, dan orang yang kam kenal. Kami pun awalnya berencana hanya akan menginap di basecamp Sembalun karena restu yang tidak memadai, tetapi ternyata rombongan tidak akan pulang lewat jalur yang sama, mereka akan pulang lewat jalur Senaru yang jauh entah dimana. Mau tidak mau keadaan menuntut saya yang seorang newbie untuk tidak naik, akhirnya setelah bargaining yang berhiaskan airmata di bawah hamparan bintang-bintang maha banyak dan maha indah Sembalun, saya dan auntie berhasil untuk melobi ibu dengan hanya akan naik “sedikit” (nanti saya kasih tahu kenapa saya kasih tanda kutip) dan berkemah di Plawangan dan tidak ikut summit attack. Itu adalah janji saya pada ibu untuk tidak mencapai puncak Rinjani, meskipun sebenarnya saya sangat ingin sampai ke puncak 3726 mdpl.
05.30 WITA, Sembalun |
TO BE CONTINUED
No comments:
Post a Comment