Bagi saya yang lahir dan besar di tanah Sunda, menyeruput
minuman satu ini bukanlah hal baru, bukan pula hal yang mahal jika diukur dari
segi materi. Namun, ada kebanggan dan prestise tersendiri di benak saya ketika
mengenalkannya pada teman-teman saya ketika berkesempatan pergi ke Negara lain,
bahwa pada masanya, inilah minuman termahal di dunia! Bandrek!
http://commons.wikimedia.org/wiki/File:A_time_for_a_cup_of_coffee.jpg |
Menurut saya, makan, minum, atau melakukan apapun tak bisa diukur dari
sensasi indrawi semata. Sadar atau tidak dalam tiap lumatan nasi kapau yang kita
makan, ada hikayat yang melekat pada orang Minang hingga sekarang, hingga
muncul pertanyaan, “Mengapa nasi Padang atau nasi Kapau ada dimana-mana?”
Itulah di balik hikayat merantau! Tanpa disadari pula di balik rasa manis gudeg
Yogya, tersimpan sejarah masakan khas Jawa yang manis, dimana terdapat banyak
perkebunan tebu pada masanya. Termasuk ketika saya menghirup harumnya dan
mencecap manis-pedasnya bandrek.
doc travel.detik.com/readfoto/2010/12/10/104126/1520973/1026/1/jailolo |
Seruput bandrek di pagi atau malam hari semacam ritual kembali
pada sejarah. Bahwa minuman yang dibuat dari pala, cengkeh, gula aren, dan lada
hitam ini punya efek luar biasa pada lahirnya sejarah di dunia. Saya ingin
sekali tiba-tiba ‘menghilang’ ke kampung halaman si rempah-rempah yang ‘bikin
gara-gara’ dan gempar dunia, mulai dari ‘biang keladi’ tersesatnya Colombus ke
Amerika Tengah hingga ditemukannya benua Amerika, lahirnya kolonialisme di
Nusantara sampai ditukarnya Pulau penghasil rempah, yakni Pulau Run dengan
salah satu pulau termodern di dunia, Manhattan!
Menikmati hal-hal sederhana seperti menikmati secangkir
minuman rempah-rempah sambil bersantai di pinggir pantai menonton “Cabaret on
the Sea” ala Jailolo, mencoba mengintip dasar laut Halmahera yang cantiknya
luar biasa, sambil bercengkrama atau sekedar main kartu, berguling dan tertawa
dengan warga sekitar adalah hal yang ingin saya lakukan di Jailolo.
Menuliskannya di blog, atau sekedar update di akun media
sosial pribadi, atau akun komunitas traveling kampus yang saya kelola, atau
sekedar berbagi cerita pada teman-teman di luar sana yang kurang beruntung,
karena telat mengenal Jailolo. Festival kebudayaan yang rutin diadakan kampus
saya tiap tahun pun bisa jadi opsi menarik mengenalkan Jailolo ke publik.
Karena tiap tahun stand Provinsi Maluku siap siaga di depan kampus saya, Jl
Dipatiukur, Bandung.
Jika benar harga pala, cengkeh, dan lada pada masanya lebih
mahal dari emas, maka untuk 30 menit yang saya habiskan untuk menulis tulisan
ini saya telah meminum minuman termahal di dunia.
Kalau
saya ikut-ikutan Giles Milton dalam bukunya Nathaniel’s Nutmeg, maka saya akan
bilang, “The island can be smelled before It can be seen”. Ah, Indonesia kamu itu ya….. kaya! Jailolo…
I’m coming!
Wah, saya juga suka bandrek hehe. Tulisannya bagus sekali teteh, semoga beruntung ya. Salam dari Bandung selatan.
ReplyDeleteWah salam kenal juga, makasih banyak :). Di Bandung juga? Salam juga dari Jatinangor (merepet Bandung)
DeleteBoleh share ??
ReplyDeleteSalam hangat
Kang Aips