"Asal
dari daerah mana?" tanya seorang teman asal Jakarta.
"Purwakarta,
itu yang ada Waduk Jatiluhur, tahu kan? " Jawab saya sambil mencoba
memastikan.
"Wah jauh
juga ya dari Jatinangor? Berapa jam di perjalanan? Ada 8 jam?"
Saya pun hanya
bisa tersenyum.
|
Bendungan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat |
Wajar saja saya tersenyum, dia tidak bisa membedakan
Purwakarta dan Purwokerto. Padahal, hampir tiap minggu Ia pulang ke Jakarta
dari Bandung, tetapi tidak pernah tahu ada sebuah Kabupaten di perlintasan
terkenal dengan waduknya yang kini hampir terlupakan. Hal serupa pun terjadi
pada ratusan bahkan ribuan warga Jakarta yang hampir tiap minggu menghabiskan
lembaran duit di Bandung dengan berbelanja ke berbagai pusat pertokoan. Nyatanya,
ada sebuah danau buatan yang senantiasa menyimpan kebutuhan air baku untuk minum dan air untuk
kebutuhan industri bagi sebagian besar warga Jakarta. Lantas, bagaimana dengan pasokan
untuk daerah penyangga ibukota lainnya seperti Bekasi dan Karawang? Itu, jangan
ditanya!
Kenyataan itu pula yang membuat saya mencoba melakukan survei
bagi mahasiswa-mahasiswa asal Jakarta yang menjalani studi di Bandung.
Hasilnya, 90 persen responden asal Jakarta yang pasti pernah ‘numpang lewat’
Purwakarta menuju Bandung pernah mendengar ada sebuah Waduk bernama Jatiluhur.
Namun, dalam persentase yang sama juga terbukti tidak ada yang tahu dan
berhasil menjawab dengan benar letak Waduk Jatiluhur tersebut. Lalu, sisa 10
persennya? Hebat.
Purwakarta, mengingatkan saya akan Radiator Spring, nama
kota dalam film animasi berjudul Cars
produksi Pixar yang disutradarai oleh John Lasseter. Film tersebut menceritakan
hilangnya Lightning McQueen, sebuah mobil balap Nascar di sebuah kota
perlintasan yang telah ditinggalkan. Purwakarta pun mengalami hal sama. Setelah
Jalan bebas hambatan Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) mulai
beroperasi pada 2006, semakin sedikit pengemudi yang singgah, walau hanya
sekedar merebah. Padahal, Purwakarta memiliki sebuah ikon yang tak hanya
penting bagi kota itu sendiri, tapi juga bagi Indonesia, sebut saja Waduk
Jatiluhur.
Ketika mulai dibangun pada 1957, bendungan ini
disebut-sebut sebagai bendungan terbesar di Indonesia. Tujuan awal dibangunnya
bendungan ini adalah demi kepentingan sektor irigasi bagi daerah-daerah di
utara Jawa Barat. Tak main-main daerah ini pun menyuplai kebutuhan air baku bagi
80 persen penduduk Jakarta. Bayangkan saja jika pasokan air untuk Jakarta
dihentikan, maka sekitar 80 persen penduduk dari total penduduk Jakarta atau
sekitar 7.686.230 dari t 9.607.787 jiwa (Sensus penduduk 2010) tidak akan
mendapat pasokan air minum. "Kalau pasokan air di-stop dari sini, ya Jakarta kekeringan," ungkap Kepala Urusan
Pengolahan Data dan Pelaporan, Jasa Tirta 2 Jatiluhur, Rahmat Sudiano, ST.
Hal
serupa dapat terjadi juga pada Karawang. Kabupaten yang merupakan lumbung padi
Jawa Barat, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu lumbung padi nasional ini, jelas-jelas
disokong oleh sistem irigasi Jatiluhur. Bendungan ini mengairi sekitar 242 ribu
hektar sawah di wilayah utara Jawa Barat, dimana sekitar 86.588 hektar
merupakan luas lahan sawah irigasi teknis Karawang. Lahan itu pulalah yang
berkontribusi langsung bagi kebutuhan beras nasional sebesar 789.000 ton per
tahun pada 2011, sesuai dengan data yang dilansir oleh www.karawangnews.com. Hal
tersebut menjadikan Jawa Barat sebagai penghasil beras terbesar kedua di
Indonesia.
Mantan
Kepala Sub-bagian Anggaran di Kantor
Biro Keuangan Jasa Tirta 2 Jatiluhur, Amil Sofwan yang menyaksikan langsung
proses pembuatan bendungan ini yang berlangsung pada tahun 1957 hingga 1967 pun
menerangkan bahwa, sebelum dibangunnya multi-purpose
dam ini, Karawang merupakan daerah langganan banjir, setiap tahun pada
musim hujan. Maka, jika Karawang masih menjadi langganan banjir hingga saat
ini, relatif sulit pasokan beras nasional terpenuhi. Hal itu pun berdampak pada
lahirnya belasan bahkan puluhan kawasan industri di Karawang yang kini luasnya
mencapai sekitar 14 ribu hektar, bahkan konon digadang-gadang Karawang akan dijadikan
kawasan Industri terbesar se-Asia Tenggara.
Tak
hanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan, waduk yang memiliki nama resmi
Ir. H. Juanda ini pun turut berkontribusi terhadap perkembangan dunia olahraga
tanah air. Waduk jatiluhur menjadi tempat latihan sekaligus home base bagi para atlet dayung yang
akan berlaga di ajang nasional dan internasional. “Sudah lama waduk ini
digunakansebagai tempat latihan dayung oleh Timnas, sejak tahun 1986 hingga
sekarang untuk ajang-ajang nasional dan internasional,” ujar Pelatih Pusat
Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) cabang olahraga dayung Jawa
Barat, Mulyana Irmawan. Pada ajang nasional PON XVIII 2012 di Riau, dan pada
ajang internasional SEA Games 2011 para atlet yang akan bertanding pun
memusatkan latihan di waduk ini. Hasilnya, pada ajang internasional SEA Games
2011 di Palembang, Indonesia mengantongi 3 medali emas, 1 medali perak, dan 1
medali perunggu dari cabang olahraga dayung.
Tak
hanya pasokan air, bendungan ini pun merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) yang menghasilkan 180 MW dan dilengkapi oleh 6 turbin. Dengan kata lain,
system kelistrikan Jawa-Bali salah satunya disokong oleh PLTA ini. Namun,
Rahmat Sudiana mengakui bahwa pasokan litrik tersebut tidak bisa dibilang besar
jika dibandingkan dengan waduk lain seperti Saguling dan Cirata, “Cirata,
kapasistas terpasangnya adalah 1000 MW, dengan kata lain lebih dari lima kali
Jatiluhur, karena didesain khusus untuk PLTA,” jelasnya. Ia pun menambahkan
bahwa tugas utama Jatiluhur bukanlah memasok
kebutuhan listrik, melainkan memasok air di hilir.
Empat
puluh lima tahun melayani masyarakat bukan berarti tanpa hambat. Waduk yang
terletak sekitar 9 km dari pusat kota Purwakarta ini pun sempat memiliki
beberapa masalah, salah satunya adalah adanya retakan pada bendungan. Hal
tersebut terjadi sekitar tahun 1998. Namun, hal tersebut masih dianggap sebagai
kerusakan minor yang dapat segera diatasi oleh tim ahli dan teknisi bendungan.
Retakan semacam itu menurut Rahmat Sudiana, normal terjadi pada konstruksi
bendungan, terutama bendungan tipe urugan, “Bendungan itu tidak diam, setelah
bendungan selesai dibangun akan terjadi konsolidasi terutama pada timbunan,”
jelas Rahmat Sudiana. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa, bendungan terdiri atas timbunan material-material yang
dipadatkan hingga mencapai elevasi lebih dari 100 meter. Timbunan tersebut
pasti akan mencari titik keseimbangan baru, sehingga terjadi penurunanpada beberapa
bagian yang disebut konsolidasi.
Masalah
utama yang terjadi pada bendungan sesungguhnya bukan hanya pada konstruksi, ada
masalah lain yang jauh lebih nyata dan pasti terjadi pada setiap bendungan
manapun di dunia, yaitu sedimentasi atau pengendapan yang menyebabkan
pendangkalan pada dasar waduk. Dijelaskan pula oleh ahli konservasi tanah dan
air, Institut Pertanian Bogor (IPB), Wahyu Purwakusuma, bahwa Sedimentasi merupakan
akibat dari proses erosi yang terjadi di sekitar waduk. Erosi menyebabkan bagian
tanah yang subur hilang sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas lahan di
lokasi terjadinya erosi.
“Bagian tanah yang
tererosi dapat meningkatkan kesuburuan parairan waduk (eutrofikasi) sehingga
dapat memicu perumbuhan tanaman air di waduk yang akan memperparah
pendangkalan dan menyempitnya luas permukaan waduk akibat tertutupi tanaman
air,” jelasnya lebih lanjut. Perlu diingat bahwa umur bendungan
bukan ditentukan oleh umur konstruksi, melainkan oleh umur layanan waduknya.
Jika berkaca pada kasus serupa, menurut data yang dilansir
Indonesia for Global Justice (
www.igj.or.id), Waduk Kedung Ombo di Jawa
Tengah diprediksi hanya mampu bertahan kurang dari sepuluh tahun lagi, padahal
menurut rencana pada dekade 1990-an, Kedung Ombo masih akan memasok irigasi
selama 100 tahun.
Untungnya,
kehadiran Waduk Saguling dan Cirata dalam satu jalur Sungai Citarum, secara
tidak langsung turut mengurangi dampak Sedimentasi, karena sedimen-sedimen yang
terbawa arus Sungai Citarum lebih dahulu tertahan di dua Waduk yang letaknya di
hulu, dari pada Jatiluhur yang letaknya di hilir. Menurut survei batimetri yang
dilakukan pada tahun 2000, dinyatakan bahwa sedimentasi pada Waduk Jatiluhur termasuk
kecil, yakni tidak lebih dari 5 mm per tahun. Meskipun, umur layanan Waduk
Jatiluhur diprediksi dapat bertahan hingga 150 tahun lagi terhitung sejak tahun
1987. Namun, bukan berarti masalah sedimentasi lepas begitu saja, masih ada dua
anak Sungai Citarum yang hilirnya langsung masuk ke waduk, yakni Sungai
Cisomang dan Cilalawi. Hal tersebut juga memungkinkan naiknya risiko
sedimentasi.
Segudang
maslahat, bukan berarti tanpa mudarat. Jika saja bendungan ini hancur dan pecah
maka daya rusaknya kemungkinan akan lebih besar dari tsunami. Hal tersebut dijelaskan
pula oleh Rahmat Sudiana, “Kalau tsunami merupakan gelombang laut yang
disebabkan gempa dan berasal dari tempat yang lebih rendah, sedangkan bendungan
berada di tempat yang lebih tinggi,” Namun, Rahmat meyakinkan sejauh ini Waduk
Jatiluhur aman. Hal tersebut pun kembali mengingatkan saya pada tragedi Situ
Gintung yang terjadi pada tahun 2009. Dapat dibayangkan, Situ Gintung yang
menampung air sebanyak 2,1 juta meter kubik saja menyebabkan kerusakan fatal,
bandingkan dengan volume tampungan air Waduk Jatiluhur mencapai hampir 1043
kali volume Situ Gintung atau sebanyak 2,4 milyar meter kubik. Maka bisa
dibayangkan apa yang dapat terjadi.
Amil
Sofwan, orang yang turut menyaksikan sejarah pembangunan Bendungan Jatiluhur
pun menjelaskan bahwa, konstruksinya dibangun sangat kokoh, dasarnya dikeruk
sampai dalam, agar kepadatan bendungan terjaga. Konon, pembangunan bendungan
tersebut tidak menggunakan semen, tapi benar-benar mengandalkan pemadatan
tanah, “Saya ingat betul kontraktornya dari Perancis, CEB, Coyne et Bellier,” jelasnya.
Tak
hanya dampak yang terlihat, dampak yang tak terlihat pun ternyata besar. Commission on Dams (WCD) menemukan bahwa
bendungan besar sebenarnya menyumbang sekitar 28 persen emisi gas efek rumah
kaca melalui hasil proses kimiawi organik. Hal tersebut disebabkan oleh bahan
organik seperti vegetasi terendam air yang menciptakan reaksi pembusukan secara
anaerob yang menghasilkan gas efek rumah kaca. Tentu saja tak hanya berdampak
bagi warga Jawa Barat dan sekitarnya, tapi bagi dunia.
“Masyarakat di sekitar
waduk harus melakukan pengelolaan lahan dengan baik untuk mencegah erosi
sehingga pendangkalan waduk akibat sedimentasi bisa dihindari,” tegas Wahyu
Purwakusuma. Usaha bersama dengan masyarakat sekitar harus dilakukan. “Kami pun
melakukan konservasi lahan dibantu oleh elemen masyarakat sekitar,” jelas Rahmat
Sudiana.
Jatiluhur
kini tak dikenal. Dipuja tapi tak dijaga. Dibebat tapi tak dirawat. Dibuat tapi
tak diingat. Jatiluhur, terlupakan atau dilupakan.