Awalnya ngobrol-ngobrol santai aja sama Atan, Broery, dan Hafizh. Obrolan merambat ketika Atan sama Broery promosi buku Menapak Tiang Langit yang sekarang ada di tiko-toko buku. Dari ngobrol-ngobrol itu jadi deh feature tentang petualangan mereka. Mulai dari betenya mereka nunggu giliran nanjak di Everest, liciknya porter-porter Aconcagua, sampe kekesalan mereka yang kalo di buku bisa-bisa kena sensor. Hahaha ini dia!
"Menginjakkan kaki di tujuh puncak triangulasi Bumi bukanlah hal yang pernah dipikirkan sebelumnya. Berawal dari sebuah ekspedisi menjelajah Pegunungan Sudirman, Papua, mereka berangkat menuju puncak tertinggi Bumi. Cartensz Pyramid, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, Aconcagua, Everest, hingga Denali dijelajah hanya dalam waktu dua tahun. Ya, merekalah empat orang Indonesia pertama yang mengukuhkan diri sebagai The Seven Summiteers."
With Janatan Ginting (Left) and Broery Andrew Sihombing (Right) |
Menginjakkan kaki di tujuh puncak triangulasi Bumi bukanlah hal yang pernah dipikirkan sebelumnya. Berawal dari sebuah ekspedisi menjelajah Pegunungan Sudirman, Papua, mereka berangkat menuju puncak tertinggi Bumi. Cartensz Pyramid, Kilimanjaro, Elbrus, Vinson Massif, Aconcagua, Everest, hingga Denali dijelajah hanya dalam waktu dua tahun. Ya, merekalah empat orang Indonesia pertama yang mengukuhkan diri sebagai The Seven Summiteers.
Dijamu di markas besar Mahitala, di komplek Unpar kami berbincang dengan dua dari empat aktor penjelajahan tersebut. Broery Andrew dan Janatan Ginting yang menceritakan pengalaman seru mereka tanpa ditemani dua rekan lainnya Sofyan Arief Fesa dan Xaverius Frans. Mulai dari kekesalan mereka terhadap para pengangkut barang di Aconcagua, kebosanan tingkat tinggi di Everest, hingga merasakan siang di Kutub Selatan selama 24 jam.
Awalnya, sebelas orang pendaki dari Pecinta Alam Mahitala, Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) menjelajah Pegunungan Sudirman di Papua. Sembilan puncak mereka daki, empat diantaranya masih perawan! Keempat puncak tersebut mereka beri nama Puncak Unpar, Mahitala, Garuda, dan Merah Putih. Prestasi besar tersebut membuat mereka ditawari untuk menjajal puncak tertinggi dunia. Sani Handoko, alumnus Unpar pemilik PT Mud King, sebuah perusahaan minyak dan gas yang kemudian mensponsori penjelajahan tersebut.
Singkat, merupakan kata yang bisa menjelaskan rencana penjelajahan seven summits ini. Ditawari untuk berangkat awal 2010, selama kurang dari enam bulan mereka akhirnya memutuskan pergi. Segala macam persiapan dilakukan hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Akhirnya, Agustus 2010 mereka berangkat.
Kilimanjaro di Tanzania, merupakan gunung kedua yang mereka daki dalam ekspedisi tersebut. Berbagai persiapan tambahan mereka lakukan, “Kita nih berat di persiapan latihan ke Sudirman, setelah itu fisik kita udah ada nih, jadi kita tinggal jaga kebugaran,” ungkap Janatan Ginting yang mengakui bahwa persiapan ke Sudirman memang lebih berat daripada latihan ekspedisi seven summits ini. Pesiapan kebugaran tersebut mencakup empat dasar yaitu, endurance yang meliputi aerobik, bersepeda, dan berenang; otot yang meliputi climbing dan olahraga anerobik (sit up dan push up). Khusus untuk latihan pernapasan, mereka juga mengikuti latihan yoga.
Dalam perbincangan ringan di sore hari itu, mereka mendeskripsikan karakteristik gunung yang pernah mereka “jajah”. Cartensz Pyramid misalnya, membuat mereka berkutat dengan urusan tali-temali, kemampuan technical climbing, dan ascending. Kilimanjaro, jalurnya memiliki trek mirip dengan Gunung Semeru. Kemudian, ada sebuah kebanggaan yang berhasil mereka torehkan di Elbrus, yaitu dengan membuka jalur pendakian baru yang kemudian diberi nama “Indonesia Route”. Meskipun Vinson Massif dianggap tidak sesulit gunung lainnya, tapi suhu yang jauh di bawah nol derajat celcius (sekitar -45°C) menyebabkan mereka cukup kesulitan, dan ancaman frostbite pun jadi salah satu hal paling diwaspadai. Sementara itu cuaca Aconcagua yang berangin kencang dengan ancaman Badai cukup membuat mereka siaga. Terakhir, Denali dan Everest, keduanya memiliki karakteristik yang hampir sama, dan trek elevasi yang cukup panjang, bahkan Denali yang di atas kertas puncaknya 2644 meter lebih pendek dari Everest memiliki trek naik 1000 meter lebih panjang.
Sekuen-sekuen selama perjalanan terbebut meninggalkan cerita dan gimmick lucu untuk dikenang, beberapa diantaranya adalah pengalaman pertama mereka berjalan di atas salju sambil menarik sled dan merasakan siang hari selama 24 jam di Antartika, menggunakan bahasa isyarat ketika di Rusia, hingga kebosanan akut selama dua bulan melakukan aklimatisasi di Everest.
Tak hanya senyum yang dikenang, kekesalan mereka terhadap porter –pengangkut barang– di Aconcagua pun masih terekam. Selain faktor cuaca, beberapa oknum pengangkut barang sekaligus pendamping perjalanan di sana dianggap kurang bersahabat, “Kebanyakan guide di Aconcagua itu curang,” ungkap Broery. Kebanyakan diantara mereka seakan-akan berusaha mempercepat ekspedisi dengan cara mendemotivasi para pendaki, “Mereka dengan mudahnya men-judge pendaki dengan bilang bahwa, Janatan kamu nggak akan kuat, kamu diam di sini, Sofyan, kamu paling cuma sampai base camp 2, dan macam-macam,” Selain bentuk demotivasi verbal, mereka pun seakan berusaha mempercepat pendakian, “Padahal, aklimatisasi kan nggak boleh cepat-cepat, beda ceritanya kalau kami pakai perusahaan Amerika. Kalau pakai perusahaan Amerika, jalannya pelan-pelan, dan base camp-nya banyak,” tambahnya. Merujuk pada informasi para pendaki sebelumnya, keuntungan bagi para porter tersebut adalah, ekspedisi cepat selesai, tapi dengan bayaran penuh.
Mountain sickness merupakan salah satu hal yang paling dihindari oleh para pendaki. Diagnosa dokter “high altitude” di Aconcagua membuat Janatan Ginting yang akrab disapa Atan harus berhenti mendaki dan tinggal sementara waktu di base camp. Jadi, ketika Broery, Sofyan, dan Frans sampai di puncak Aconcagua, Atan terpaksa tidak melanjutkan pendakian. Namun, karena daya juang dan semangat yang kuat, dua minggu berselang Atan memutuskan untuk kembali mendaki Aconcagua, dan berhasil sampai di puncak tanpa ketiga kawan seperjuangannya yang lain. Hal yang cukup janggal dirasakan oleh tim ketika Janatan divonis harus segera turun dan tidak boleh melanjutkan perjalanan, tapi dalam waktu dua minggu saja, berdasarkan tes kesehatan, Ia dinyatakan lolos untuk naik kembali ke Aconcagua.
Dalam perjalanan-perjalanan itu terselip juga ketegangan-ketegangan yang membuat mereka hingga detik ini tetap bersyukur. Broery misalnya, Ia hampir saja tergelincir masuk ke dalam crevasse – rekahan es –, atau Janatan yang hampir saja terkena longsoran salju di Everest.
Selama melakukan pendakian, para pendaki sebisa mungkin tetap berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat di Bandung. Beberapa gadget canggih pun mereka bawa agar kejadian seperti di Elbrus tidak terulang. “Di Elbrus pernah hilang kontak selama sembilan hari, orang-orang di Bandung sudah panik, dan sudah merencanakan untuk menjemput tim ke Rusia, sampai akhirnya kita pulang dan membuat panik orang-orang,” ungkap Broery. Untuk itu, para pendaki menggunakan alat bernama Delorme. “Delorme itu semcam modem, jadi dia bisa dihubungkan dengan GPS, device ini nge-track, kalau sudah nge-trackdia kirim delorme ini, kemudian terhubung dengan satelite dan connect langsung ke sebuah perusahaan bernama SPOT, SPOT ini merupakan salah satu perusahaan provider yang menyediakan layanan delorme ini. Jadi dia bisa mengirimkan posisi kita secara real time,” jelas Broery.
Ekspedisi ber-budget 8 Milyar rupiah ini pun berakhir pada Juli 2011 lalu ketika keempat pemuda Indonesia tersebut berhasil mencapai puncak ketujuh, Denali di Alaska. Ya, memang mereka bukan yang pertama menaklukan ketujuh mahakarya Sang Mahaperkasa. Namun, membentangkan merah putih di ujung Sagarmatha pada Hari Kebangkitan Nasional, mendaki Aconcagua untuk kedua kalinya karena tak mau gagal, hilang kontak di Elbrus selama sembilan hari, menghadapi ancaman frostbite di Antartika, menjelajah dinginnya Denali demi harga diri bangsa, dan mengukuhkan gelar membanggakan bagi Indonesia sebagai negara ke-53 di dunia yang menempatkan pendakinya sebagai The Seven Summiteersadalah hal lain bagi mereka, dan mungkin hanya mereka yang mengerti. Seperti kata Sir Edmund Hillary dalam pendakian pertamanya ke Everest, “Well, we knocked the bastard off!” Ya, You knocked the bastards off!
Mahitala, dari Sinilah Mereka Memulai
Mahitala sendiri berdiri pada tanggal 14 April tahun 1974. Pada awalnya Mahitala ini berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan. Mahitala berdiri karena pada saat itu Frans Setiawan (pendiri Mahitala) meninginkan membuat sebuah kegiatan mahasiswa yang tidak ada hubungannya dari kegiatan politik. Ya, memang pada tahun 1974 mahasiswa sangat berperan dalam kegiatan-kegiatan politik dalam negeri. Hafizh Sufnir, Ketua Mahitala periode 2011 – 2012 pun menjelaskan bahwa pembentukan Mahitala saat itu didasari oleh keinginan dibentuknya organisasi mahasiswa pecinta alam yang tidak memiliki hubungan dengan kegiatan politik.
Sejak saat itu hingga kini Mahitala memiliki beberapa kegiatan rutin setiap tahunnya. Yaitu, Wandering Season dan diklat. Wandering Season adalah anggota Mahitala mencoba untuk membuat sebuah ekspedisi. Sejak era 1990-an perekrutan anggota baru Mahitala melalui diklat dilaksanakan setahun sekali. Melalui diklat para calon anggota baru mendapatkan lima kemampuan dasar yaitu, tali temali, navigasi, medis, survival dan SAR. Keanggaotaan bagi anggota baru Mahitala yang baru selesai melakukan diklat mendapatkan title sebagai anggota muda. Setelah itu baru di angkat menjadi anggota biasa sesuai dengan keputusan dewan pengurus. Untuk anggota Mahitala yang telah lulus dan meninggalkan kampus mereka diberi title anggota lama.
Satu hal yang selalu menjadi ciri khas dari Mahitala adalah kekeluargaan antar anggotanya. Antara anggota lama dan anggota baru memiliki rasa kekeluargaan yang kuat karena didasari hobi yang sama dan yang terpenting di Mahitala tidak memiliki budaya senioritas antar angkatan, tapi tetap menjunjung rasa hormat.
Click the link above to read the full feature.