One of my writings on indonesia.travel (Kurir Titip Pesan Nusakambangan - arziativany) The official tourism and creative economy site of Indonesia.Please kindly click the link above to see my story on #CeritaNegeriku (Travelers' Stories)
Saturday, October 20, 2012
indonesia.travel (Kurir Titip Pesan Nusakambangan - arziativany)
indonesia.travel (Jangan Main-Main di Rinjani! - arziativany)
One of my writings on indonesia.travel (Jangan Main-Main di Rinjani! - arziativany) The official tourism and creative economy site of Indonesia.Please kindly click the link above to see my story on #CeritaNegeriku (Travelers' Stories)
Wednesday, October 3, 2012
Pala, Sejarah dan Masa Depan Bangsa
Pesona Myristica fragrans sepertinya memang telah mengubah garis peradaban Indonesia. Dalam sejarah, eksotismenya menggugah penjelajah Eropa untuk eksodus ke Timur. Tak pelak, Pelabuhan Malaka pun menjadi saksi penjejakan pertama bangsa Eropa di Nusantara pada 1511.
Kini, anggapan
bangsa Eropa tentang nilai pala yang sebanding atau lebih besar dibandingkan
dengan emas relatif tak berlaku lagi. Pala pun kini tak sedigjaya
dulu, ketika biji merah dan filinya dapat membuat Belanda rela menukar Nieuw
Amsterdam (kini New York) dengan Pulau Run di selatan Pulau Banda dalam Traktat
Breda pada 1667, seperti yang tertuang dalam buku Giles Milton, Nathaniel's
Nutmeg.
Sedari dulu,
pala memang dikenal sebagai salah satu jenis rempah yang bernilai tinggi karena
khasiatnya dalam dunia pengobatan. Pala dipercaya dapat mengobati beberapa
jenis gangguan kesehatan mulai dari masuk angin, hingga diabetes. Meskipun kini
dunia pengobatan telah berkembang ke era yang lebih modern, manfaat pala
sebagai obat herbal masih sangat diminati bahkan oleh bangsa Eropa sekalipun
yang kemajuan teknologinya tinggi.
Menurut data
yang dilansir oleh The Uppsala Monitoring
Centre, lebih dari 70 persen penduduk Jerman (Eropa) masih menggunakan pengobatan
herbal, bahkan seringkali menjadi cara pengobatan utama bagi beberapa penyakit
minor. Hal serupa pun diungkapkan World Health Organization (WHO) yang
menyatakan sebanyak 75-80 persen penduduk dunia pernah menggunakan obat-obatan
herbal (2005).
Ironisnya, dari
ribuan jenis tanaman obat di Indonesia, obat herbal yang terstandar hanya 17
jenis dan hanya 6 jenis tanaman obat yang akhirnya menjadi fitofarmaka, yaitu
obat yang sudah diuji secara pre klinis dan klinis. Di samping itu, obat herbal
terstandar memang memiliki beberapa syarat, yakni harus memiliki aktivitas,
toksisitasnya aman, dosisnya rasional, dapat disimpan dalam berbagai kondisi,
dan aman untuk diproduksi.
Memang tidak
mudah mengembangkan bahan-bahan herbal menjadi obat yang digunakan secara medis
sebagai obat komplementer. Saat ini, masyarakat Indonesia kebanyakan
menggunakan bahan-bahan herbal berdasarkan pengalaman, sedangkan untuk
mengembangkan bahan-bahan herbal tersebut menjadi obat komplementer, harus
memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya memiliki evident base, dan melalui uji pre klinis baik secara in vivo maupun in vitro, sehingga penggunaannya terstandardisasi, baik aktivitas
maupun keamanan penggunaannya.
Obat Diabetes Masa Depan
Kini, biji pala
sebagai obat diabetes mellitus tipe 2 sedang dikembangkan di Fakultas Farmasi,
Universitas Padjadjaran. Hal ini diprakarsai oleh Dr. Keri Lestari, dosen yang
konsisten berfokus pada masalah diabetes. Penelitian tersebut didasari oleh dua
faktor, pertama dari konteks sosial, Ia sadar betul penderita diabetes
membutuhkan obat yang murah dan minim efek samping, sedangkan dalam konteks
kesehatan, penderita diabetes memiliki potensi pembekuan darah dan stroke yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat, maka obat herbal dibutuhkan untuk
mengatasi kemungkinan komplikasi.
Penelitian ini
dimulai, ketika Dr. Keri Lestari mendapatkan kesempatan joint research Yonsei University di Seoul, Korea Selatan, untuk menyelesaikan
disertasinya. Di sana, Ia men-screen
tanaman tanaman yang memiliki efek tanda PPARg
dan PPARa. “Obat yang dapat
mengintervensi peran PPAR g/a merupakan
salah satu obat diabetes masa depan,” tegasnya. Sejak 2008 hingga 2010, Dr.
Keri Lestari menyelesaikan disertasinya yang berfokus pada uji pre klinis pala
sebagai obat anti-diabetes. Ketika itu, disertasinya terbatas pada uji
aktivitas, toksisitas, stabilitas senyawa aktif, dan apa senyawa aktifnya. Baru
pada 2011, Ia mulai membuat formulasi obat diabetes khusus, dimana harus
memenuhi syarat seperti, memenuhi standar glycemic
index, obat yang diproduksi harus hancur di dalam tubuh sebelum 5 menit,
formulasi telah diuji pada hewan coba, telah diuji pada uji fase satu (diuji
pada sukarelawan sehat), dan terakhir melalui uji fase 2 (uji pada penderita
diabetes).
Di Indonesia,
kandungan pala yang menjadi standar uji, biasanya adalah myristicin, tapi
menurutnya, myristicin tidak boleh terkandung dalam obat herbal. Berdasarkan
standar Food and Drug Administration
(FDA), kandungan myristicin dan safrol tidak diizinkan dalam produk herbal,
karena dalam penggunaaan jangka panjang dapat mengganggu organ hati dan ginjal.
Disamping itu secara khusus untuk antidiabetes kandungan myristicin ini
bertentangan untuk terapi diabetes, karena
menyebabkan efek halusinogen dan sedative, dimana setelah meminumnya
akan timbul rasa kantuk, sehingga dikembangkan cara penyediaan ekstrak pala
yang bebas safrol dan miristisin.
Sebagai
obat anti-diabetes, pada penelitian ini ditemukan aktivitas baru dari ekstrak
biji pala dengan zat aktif dehydrodiidoeugenola sebagai agonis ganda PPAR g/a, cara pembuatan, dan penggunaan pala
sebagai salah satu atau seluruh bagian obat anti-diabetes telah dipatenkan pada
tahun 2010. Pada tahun 2011, DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Dikti), memilih penelitian yang sudah dibiayai untuk dipatenkan, maka
terpilihlah penelitian pala Dr. Keri Lestari untuk dipatenkan sebagai
anti-dislipidemi (abnormalitas metabolisme lemak), dan kini obatnya
dikembangkan dalam bentuk tablet.
Pemilihan pala sebagai kandungan
utama obat ini pun didasari oleh kemanfaatannya untuk pengobatan diabetes,
yaitu sebagai antihiperglikemi, antidislipidemi, antiinflamasi, dan
antioksidan. Hal-hal tersebut pula dapat mengurangi risiko komplikasi pada
pasien diabetes. Selain itu, kelebihan yang dimiliki pala dibandingkan dengan obat
diabetes lain adalah aktivitas agonis ganda
PPAR g/a, dan bersifat
antihiperglikemik dan antidislipidemi.
Hal ini sesuai dengan tren
pengembangan obat antidiabetes di beberapa Negara maju, dimana saat ini sedang
dikembangkan obat-obat yang mengandung agonis ganda PPAR g/a seperti pala. Sedangkan beberapa obat
sejenis yang dikembangkan, seperti muraglitasar dan tesaglitasar memiliki
resiko efek samping yang menyebabkan tumor. Di lain pihak, keistimewaan pala
yakni memiliki kandungan anti-tumor, sehingga resiko efek samping tersebut
dapat dihindari.
Pala, Tak Hanya di Pulau Banda
Beragam jenis olahan pala yang dijual di toko oleh-oleh. Olahan pala merupakan penganan khas. Bentuk olahannya berupa pala basah, pala kering, dan dodol pala. |
"Untuk
riset ini, saya menggunakan pala dari Wanayasa, tempatnya dekat dengan
Bandung" ungkap Dr. Keri Lestari. Itulah kalimat yang membuat saya
penasaran, ada apa dengan Wanayasa? Sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten
Purwakarta, Jawa Barat sekitar 83 km dari Bandung ini memiliki potensi luar
biasa dalam pembudidayaan pala. Kebanyakan orang menganggap pala dengan
kualitas baik hanya tumbuh di tanah leluhurnya, Pulau di Maluku Selatan. Namun,
masyarakat Jawa Barat pun perlu tahu, ada sebuah tempat di kaki Gunung
Burangrang yang menjadi penghasil pala dengan kualitas baik.
Saya memiliki
kesempatan mengunjungi Wanayasa, Purwakarta dan langsung mengunjungi toko
oleh-oleh khas Wanayasa milik Bu Yulia yang telah berdiri selama 16 tahun.
Ternyata, produk olahan pala yang dijual di sana beraneka ragam, mulai dari
pala basah, pala kering, hingga dodol pala.
Rika, remaja
usia belasan, pramusaji yang bekerja di toko tersebut menunjukkan pohon pala
yang ada di sekitar toko tersebut. Rika memang hanya lulusan Sekolah Menengah
Pertama, tapi saya banyak belajar darinya, termasuk tentang pohon pala. Rika
menunjukkan kunci rahasia menebak pohon pala yang benar. Ya, bagi saya orang
awam yang sama sekali tidak tahu bentuk pohon pala, adalah sebuah pelajaran
berharga mengetahui bahwa bentuk pohon pala itu unik, "Coba bisa teteh
lihat bentuk pohon pala itu unik, kerucut mirip bentuk pohon cemara,"
jelasnya dengan logat Sunda yang khas.
Jika pada zaman
Romawi harga biji dan fili pala bisa lebih mahal dari emas, kini anggapan
tersebut rasanya tak berlaku lagi. Menurut Bu Yulia, biji pala kini bisa
diperoleh dengan harga Rp80 ribu per kilogram saja, jauh beda dibandingkan
harga emas yang mencapai Rp500 ribu per gram. Sedangkan, harga daging pala yang
belum diolah lebih murah lagi, hanya Rp5 ribu per kilogram, dan harga pala utuh
yang belum diolah hanya sekitar Rp3 ribu per kilogram.
Meskipun sejarah
telah berubah, pala telah menjadi ujung kompas arah peradaban bangsa. Menjadi
salah satu alasan monopoli dan kolonialisasi negeri selama lebih dari tiga
abad, menjadi pemicu pemberontakan rakyat, menjadi gerbang bagi lahirnya
penemuan dan ilmu pengetahuan, dan menjadi salah satu alasan untuk mencintai
dan mengabdi pada negeri.
SILAKAN BANDINGKAN DENGAN,
Kompas, 25 September 2012 |
"Apresiasi" Diri
Seperti biasa sudah jadwalnya apresiasi. Ya, tugas apresiasi ini memang khas di jurusan saya, Jurnalistik. Tugasnya pun dikasih sama dosen legendaris Fikom kayanya, ya Pak Sahala Tua Saragih. Salah satu tugas saya itu harus apresiasi rubrik "Kampus" di Kompas, Selasa 25 September 2012, tapi kalo diliat-liat ada yang aneh sama bahan apresiasi saya minggu lalu, ternyata saya harus apresiasi tulisan saya sendiri yang dipangkas habis-habisan, angle-nya pun berubah total -___-*
Kalau ada yang sempat baca, di sana tulisan saya dirombak habis-habisan. Post berikutnya akan saya post selengkap-lengkapnya :)
Kompas, 25/9/12 |
Subscribe to:
Posts (Atom)