Dr. Indra Perwira, ketika diwawancarai mengenai rancangan Undang-Undang Asset Recovery di kantornya, Jl. Imam Bonjol No. 21, Sabtu (12/11). |
Dalam Koran Kompas, Rabu (9/11), terdapat sebuah berita berjudul kejaksaan utamakan pengembalian aset koruptor. Dalam koran tersebut Jaksa Agung menyatakan, “Percuma kita menghukum orang tetapi tidak bisa mengembalikan kerugian Negara…”, selain itu, Jaksa Agung pun menyatakan, “Jadi, kita sita dulu sebanyak-banyaknya, baru dibuktikan nanti saat proses penyidikan, sehingga bisa dipertanggungjawabkan.” Hal tersebut menimbulkan banyak pendapat lain salah satunya pendapat Indra Perwira, dosen Hukum Tata Negara dan Teknik Perundang-Undangan, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran.
Saat ini, ada pula wacana mengenai Undang-Undang Asset Recovery para koruptor, yang konon akan dibentuk, sesuai dengan konvensi Anti-Korupsi PBB. Sebenarnya menurut Indra Perwira, perihal denda dan pengembalian asset telah tercantum dalam UU No 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika terlalu berorientasi pada pengembalian aset tanpa menjatuhkan hukuman yang membuat jera juga dirasa tidak etis. Ia menganggap penanganan kasus korupsi di Indonesia masih setengah-setengah. Berikut perbincangan lengkap dengan Indra Perwira di kantornya Jl. Imam Bonjol No 21 Bandung, Sabtu (12/11).
Menurut Anda, komitmen Indonesia dalam menangani kasus korupsi ini seperti apa bentuknya?
Pertama kan kita memang sejak reformasi punya komitmen untuk memberantas korupsi, selain kita membuat Undang-Undang Tipikor, kita buat KPK, lalu berbagai instrumen kita ubah juga, Undang-Undang Keuangan, Undang-Undang Transparansi, macam-macam ya. Tapi begini kalau kita lihat undang-undangnya itu kan memang ada beberapa kategori tindak pidana korupsi, katakanlah ada sekitar tujuh kategori, jenisnya macam-macam. Sebagian dari tindak pidana itu kan ada dalam hukum kita, kaya suap di KUHP itu sudah ada, penggelapan, mark up itu sudah ada, yang baru itu hanya soal gratifikasi yaitu menerima hadiah.
Sudah se-luar-biasa apakah korupsi sehingga ada undang-undang tersendiri dan juga Pengadilan khususnya?
Nah, kenapa dibuat undang-undang tersendiri, karena kita menganggap korupsi itu sudah menjadi extraordinary crime, kejahatan yang nggak bisa lagi ditangani secara biasa. Akhirnya kita buat acaranya juga khusus Peradilan Tipikor ada juga KPK yang juga punya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diharapkan bisa memberantas korupsi.
Lalu, menurut Anda sejauh ini penanganan kasus korupsi di Indonesia seperti apa?
Dari berbagai kasus korupsi yang saya amati, meskipun Undang-Undang itu mengancam hukuman Pidana lebih berat daripada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jadi dikeluarkan oleh KUHP. Di Undang-Undang satu dia kasih ancaman berat, maksudnya supaya orang jera, tapi dalam praktik toh hukumannya tetap ringan-ringan saja, dikasih yang minimal, itu pun ada hukuman minimal, tapi dijatuhkannya yang minimal. Jadi kalau kita baca atau kumpulkan itu relatif antara satu setengah tahun sampai tujuh tahun, rata-rata empat tahun hukumannya. Kalau kita bicara dalam sistem pidana, itu belum nyambung dalam sistem permasyarakatan, karena kalau dihukum empat tahun, masuk Januari, bulan Agustus bisa dapat remisi, potongan-potongan. Di hari besar lainnya nanti dapat lagi remisi, sehingga dalam waktu satu setengah tahun sudah dapat melenggang keluar. Kalau ditanya bagaimana pendapat saya, ya masih setengah serius, belum terlalu serius.
Lalu penaganan apa yang seharusnya dilakukan?
Korupsi itu kan ada dua, by greed karena keserakahan, atau juga by system. Jadi kalau orang itu berada dalam sistem yang buruk, itu akan membusukkan siapa saja. Salah satu cara memberantas korupsi itu adalah dengan upaya mencegah peluang orang-orang melakukan tindak pidana korupsi. Itu yang harus dilakukan adalah menata sistem kita, mulai dari sistem birokrasinya, orang-orang kebutuhannya dipenuhi karena ada juga corruption by need karena memang nggak cukup. Ini dalam reformasi itu kan harusnya kita mengkaji berapa sih pantasnya kita membayar karyawan kita. Itu sistem sebenarnya. Mestinya dalam waktu sepuluh sampai dua puluh tahun, itu kita benahi seluruh sistem kita. Semua celah-celah untuk melakukan hal itu kita tutup.
Selain masalah sistem, hal apa lagi yang harus dibenahi dalam hal penanganan korupsi di Indonesia?
Kita harus punya strategi budaya. Jadi selain sistem itu kan bukan hanya membenahi hukum saja. Kalau dalam kultur kita, kan korupsi itu terpengaruh dari kultur ya. Kadang-kadang kita menghadapi dilemma seperti ini, pada saat orang menyumbang, untuk bangun masjid, untuk fakir miskin, itu kan dilihat uang sumbangannya, kemudian mengucapkan terima kasih dan didoakan suapaya dia dapat lagi, sambil kita gak berani tanya itu duit dari mana. Itu sih menjadi kultur ya, kultur. Jadi kita tutup rejeki itu dari Allah. Baik yang halal maupun haram. Ini budaya ini sulit diubahnya, ini perlu keteladanan. Saya melakukan itu mulai dari rumah sendiri. Anak-anak saya sudah paham, sudah anti-korupsi, karena semenjak kecil saya sendiri menanamkan pola hidup anti-korupsi, walaupun terpaksa hidupnya susah, tapi kan itu meng-invest satu generasi minimal anak-anak saya, dan kalau mereka jadi pemimpin, mereka punya kesempatan untuk menularkan pada bangsa ini.
Saat ini kan sudah ada Undang-Undang tentang Korupsi UU No 31 Tahun 1999 Itu, kemudian akhir-akhir ini muncul wacana tentang Undang-Undang Pengembalian Aset Hasil Korupsi. Menurut Bapak bagaimana?
Sebenarnya Undang-Undangnya sudah ada, UU No 31 Tahun 1999, nah ini juga merupakan pendekatan yang salah, pendekatan yang konyol, nggak boleh.
Jadi bagaimana menurut Anda mengenai pernyataan-pernyataan dalam berita yang sudah Anda baca ini?
Korupsi itu suatu kejahatan, bisa saja terhadap uang negara, bisa saja terhadap uang perusahaan, aset itu bisa aset negara maupun aset perusahaan. Yang harus dipidana itu kan si pelaku, buktikan dulu dia salah sama enggaknya. Dihukum katakanlah tujuh tahun, empat tahun. Itu ada hukuman tambahan, diwajibkan mengembalikan aset atau membayar denda. Jadi, hukuman itu kan bisa penjara bisa denda, bisa dua-duanya. Nah, jadi kalau dia mengambil 30 trilyun, ya didenda saja dengan membayar 30 trilyun. Kalau nggak subsider ganti kurungan tambahan berapa gitu. Tapi kalau judulnya begini, mengembalikan aset, yang penting duit kembali. Jadi, seolah-olah pelakunya nomor sekianlah kalau dipenjara mah, yang penting duit kembali. Ini justru bisa menimbulkan kompromi-kompromi. Buat saya ini justru statement yang ngaco.
Mengutip pernyataan Jaksa Agung, saya mau bertanya juga mengenai pendapat Jaksa Agung begini, “Percuma kita menghukum orang, tetapi tidak bisa mengembalikan kerugian Negara…”. Menurut Anda mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, menghukum dulu, atau menyita dulu?
Kita harus mengembangkan, jenis-jenis hukuman yang baru di luar hukuman penjara. Saya setuju kalau begitu intinya, artinya begini kalau katakanlah dia mencuri 1 trilyun, kita penjara empat tahun, satu setengah tahun keluar. Ya investasinya cukup besar. Negara tidak ada untungnya dengan menghukum orang, tetap kerugiannya hilang. Tapi kan hakikatnya dia yang melakukan perbuatan itu, karena itu saya sarankan hakim menjatuhkan hukuman tambahan, dan kalaupun dalam undang-undang itu diubah hukumannya.
Mengubah hukuman. Jadi bagaimana contoh pengubahan hukuman tersebut?
Artinya begini, kerja paksa, kerja sosial selama empat tahun membangun jembatan layang di kota Bandung. Itu bermanfaat, bukan duitnya dikembalikan, tapi kan dia tetap dihukum. Di Amerika, Eropa hukuman semacam itu kan lazim. Kerja sosial selama satu tahun, jadi kalau dia bangun jalan, ya dengan seluruh aset dia gunakan. Itu memang lebih manfaat. Bukan cuma pelaku pidana, untuk pelaku illegal logging sejuta hektar, dihukum lima tahun, emang hutannya kembali? Kan enggak. Lebih baik memerintahkan dia untuk menanam sejuta pohon. Darimana duitnya, terserah elu, elu kan nebang, gue gak mau tahu, diawasin itu. Itu sih oke, tapi bukan aset dikembalikan. Itu kan apa-apaan itu.
Mengenai aset-aset Indonesia yang dilarikan ke luar negeri, menurut Anda bagaimana mekanisme pengembaliannya? Apakah benar-benar sulit?
Yang pertama itu harus dibuktikan dulu si pelaku melakukan tindak pidana, setelah dia dipenjara. Kedua dibuktikan juga aset itu hasil tindak pidana. Jadi, ini pelaku tindak pidana punya harta kekayaan, ini juga harus dibuktikan bahwa ini merupakan tindak pidana kejahatan. Katakanlah ternyata ini tersebar di luar negeri, itu bisa dilakukan kerja sama. Mudah kok. Asal kita bisa memberitahu Interpol, bahwa ini memang hasil kejahatan si X.
Lalu kesulitan yang dihadapi selama ini terletak dimana Pak?
Problem-nya kenapa sulit, kesulitannya itu terletak ketika mengidentifikasi hartanya ini. Tiba-tiba saya punya warisan rumah di Florida mau disita, apa urusannya negara. Korupsi saya di Bandung, itu rumah warisan Bapak saya dulu, tidak ada urusan. Itu yang menjadi kesulitannya.
Saat ini dikatakan Singapura merupakan tempat utama pelarian aset hasil korupsi dari Indonesia, sedangkan Singapura sendiri tidak memiliki kerjasama ekstradisi dengan Indonesia, selain jalan formal, apakah ada jalan lain untuk mengontrol kemudian mengembalikan aset Negara disana?
Ada dong… ada pastinya.
Kira-kira seperti apa Pak caranya, kok selama ini seperti sulit sekali?
Itu kan bisa dengan Malaysia ekstradisinya, melalui kerjasama kita dengan Malaysia. Bisa oleh negara ketiga, bisa dibantu oleh negara ketiga nggak harus face to face dengan Singapura. Itu kan dibesar-besarkan. Sebetulnya bisa saja kerjasama dengan pihak negara lain.
Selain melalui negara lain?
Misalkan dengan lobby-ing, itu bisa banget. Bukan berarti hukum nggak ada ekstradisi, jadi nggak bisa dikembalikan.
Bagaimana contohnya dengan kasus Nazaruddin?
Dalam kasus Nazaruddin itu bisa dilakukan, buktinya dengan lobby, agar keluar dari Singapura, kita tangkap di negara lain kan bisa saja begitu.
Mengenai hukuman sendiri, Anda setuju tidak dengan hukuman mati bagi koruptor?
Hukuman mati saya setuju ya, tapi jangan ditembak.
Kenapa Pak? Perbedaannya hukuman mati yang ditembak dan tidak ditembak?
Nggak ini sekedar joke saja. Nggak ditembak tapi dikelikitik. Enak banget soalnya kalau ditembak, sekali langsung mati. Soal hukuman, setuju nggak setujunya itu bergantung pada jenisnya. Berat ringannya hukuman itu tergantung pada niat dan perbuatan. Jadi, kalau dia korupsi Rp.500 ribu, seperti di Rancaekek karena memang orang itu butuh untuk membayar sekolah, dengan orang yang katakanlah berapa puluh milyar. Mestinya beda dong hukum kita, jangan main-main sama. Untuk orang yang sudah kaya raya, terus korupsi juga, ya mungkin pantaslah dihukum mati. Tapi kan tidak semua begitu.
Kemudian, saya kembali mengutip kata-kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M. Hamzah yang menyatakan upaya pengembalian aset negara hasil korupsi di luar negeri terhambat karena pemberlakuan hukuman mati di Indonesia dalam www.kbr68h.com. Bagaimana menurut Anda?
Kan saat ini di Indonesia faktanya tidak ada kasus korupsi yang dihukum mati, itu mengada-ada. Kalau di ancaman, di undang-undangnya ada hukuman mati, tapi lihat secara praktiknya. Buat saya itu hukuman ringan semua. Makanya koruptor tetap saja dihukumnya ringan-ringan, belum ada yang dijatuhi 20 tahun pun belum ada. Jangan kan mati, hukuman 20 tahun saja, hukuman berat belum ada.
Lalu hukuman yang tepat itu sebenarnya bagaimana?
Lebih ke pada sistem reward and punishment menurut saya. Bukan dengan hukum pidana. Begini, kalau orang ingin menargetkan pajak, itu bukan dengan mengancam orang yang nggak bayar pajak dengan hukum pidana berat, orang nggak takut, praktiknya kan kaya Gayus. Untuk menghindari pidana ya mereka bayar Gayus, diatur sama Gayus. Malah orang-orang kaya Gayus dengan ancaman pidana dapat peluang besar, karena bisa menakut-nakuti para wajib pajak.
Haruskah kita melihat contoh baik luar negeri?
Seperti di Amerika ya. Orang yang rajin bayar pajak itu dikasih kartu titanium, platinum. Manfaatnya apa, kalau dia naik pesawat, kehabisan tiket, dijamin dapat tiket. Masuk hotel, penuh, dijamin dapat kamar. Very Important Person (VIP), Very Very Important Person (VVIP), meskipun tarifnya tarif regular. Nah orang akhirnya ingin mendapat perlakuan seperti VVIP, Very Very Important Person. Antara lain dengan membayar pajak. Kalau di kita kan VVIP itu presiden, menteri, yang ngemplang pajak. Jadi terbalik cara pandangnya.
(***)
A. Identitas
- Nama : Dr. Indra Perwira, S.H., M.H.
- Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 29 April 1958
- NIP : 19580429 198601 1 001
- Email : perwira78@gmail.com
- Alamat : Jl. Guntursari Wetan I/30, Buah Batu, Bandung.
- Pekerjaan : Pengajar di Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
- Jabatan : Kepala Pusat Studi Kebijakan Negara, UNPAD
B. Pendidikan Formal
- Sarjana Hukum dari Universitas Padjadjaran, tahun 1985
- Magister Hukum dari Universitas Padjadjaran, Tahun 1992
- Program Doktor Universitas Padjadjaran, tahun 2009
C. Pengalaman Organisasi /Jabatan
- Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Padjadjaran, 1995 –1997;
- Wakil Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 1999 – 2001
- Ketua Bagian Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, 2002 - 2006.
- Anggota Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM), 1997 - sekarang;
- Anggota Forum Diskusi Hukum (FORDISKUM) Bandung, 1997 – sekarang
- Ketua Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Wilayah Jawa Barat, 2007-sekarang.
- Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Hukum dan Dinamika Sosial, Lembaga Penelitian, UNPAD, 2008-2009
- Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara, FH UNPAD, 2010-sekarang