"SEBAB kita bersukacita bukan karena memotong padi, kita bersukacita karena padi yang kita tanam sendiri." Itulah sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut Max Havelaar dalam pidatonya yang ia sampaikan di depan persidangan di Lebak pada 1856. Melalui pidatonya tersebut, tersirat hasrat besar dirinya membebaskan Lebak yang begitu tandus dibekap rakus, dan masyarakatnya melarat tak bisa berbuat. Kisah ini kemudian dikemas kembali oleh penerbit Qanita, Mizan Pustaka, yang diterjemahkan kembali oleh Inggried Dwijani Nimpoeno, dan didiskusikan dalam OPMI Bedah Buku Max Havelaar di Freedom Institute, Jakarta, Sabtu (18/10) lalu.
Terjemahan versi Qanita, Mizan Pustaka, dianggap belum semenarik terjemahan pertamanya, yakni karya HB Jassin yang dinilai sangat cermat menempatkan intimasi dan penggambaran suasana berdasarkan waktu dengan kata `aku' dan `saya', tetapi novel terjemahan Inggried Dwijani Nimpoeno ini pun dinilai menarik dan tetap bisa menggambarkan pengaruhnya bagi pembaca. Salah satu pembahas yang hadir dalam bedah buku ini adalah pendiri taman bacaan Multatuli, Ubaidilah Muchtar. Menurutnya, kisah buku ini bukanlah roman semata. "Kisah ini bukan roman, ini adalah gugatan." tegasnya.
Bisa jadi perkataan Ubai benar, seperti yang banyak orang ketahui, buku ini memang berkisah tentang perlawanan seorang Asisten Residen Lebak yang dikisahkan bernama Max Havelaar. Max Havelaar menentang sistem kolonialisme yang telah diterapkan selama bertahun-tahun oleh Belanda. Tidak hanya vokal menentang sistem yang dibuat negaranya sendiri, Havelaar pun harus menyaksikan kesengsaraan masyarakat Lebak dari penindasan dan perampasan hak yang dilakukan pemimpin mereka sendiri yang menjadi cerminan feodalisme yang telah mengakar di Banten, bahkan di seluruh kawasan Hindia Belanda.
Multatuli, melalui penokohan dirinya sebagai Max Havelaar tetap bersikukuh pada pandangannya bahwa sistem tanam paksa harus segera diakhiri . Dia pun kerap memberikan kritik dan protesnya pada gubernur jenderal, tetapi usaha tersebut malah dianggap sebagai penghalang, dan itu menjadi penyebab dia dipindahkan ke Ngawi. Havelaar pun menolak, dan memilih untuk kembali ke Eropa, dan menuliskan kisahnya dalam sebuah buku berjudul asli Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (1860). Sastra sekaligus autobiografi Roman ini dibingkai melalui be berapa jalinan cerita, mulai dari kisah yang dipaparkan Droogstoppel, seorang makelar kopi di Belanda yang chauvinis, kaku, dan menjemukan yang menjadi representasi bangsa kolonial. Cerita ini pun pada intinya menceritakan tentang kisah pribadi Multatuli yang diwakili oleh Max Havelaar selama menjadi pegawai pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Ada pula kisah cinta tragis mengenai Saijah dan Adinda, yang menjadi korban penindasan dan keserakahan para feodal.
"Bisa dibilang, ini adalah autobiografi yang Multatuili tulis sendiri, tetapi keberadaannya sebagai karya sastra tetap diterima" jelas Ubaidilah. Karya ini tidak hanya mengentaskan sistem tanam paksa, tapi juga menjadi salah satu karya penting dalam dunia sastra, baik Belanda maupun Indonesia. Seperti diketahui se belumnya, Max Havelaar menjadi salah satu karya paling berpengaruh da lam kesusastraan Belanda pada sekitar abad ke-19, seperti yang pernah dise butkan Maritha Matijsen, seorang profesor sastra Belanda abad ke-19.
Namun, di sisi lain, mahakarya Multatuli ini pun memberikan pengaruh be sar bagi dunia sastra Indo nesia, "Karya ini berperan sebagai tonggak awal sastra Indonesia dengan fiksionalisasi potret sosial yang ada," jelas sejarawan UI Hilman Farid. Pada abad ke-19, di Indo nesia terdapat keterbatasan bentuk dalam sastra. Menurutnya, kritik-kritik yang disampaikan dalam roman ini memberikan napas bagi pencapaian tema Indonesia sebagai gagasan, sekaligus cita-cita yang harus direalisasikan.
Jika Pramoedya Ananta Toer menye butnya kisah yang membunuh kolo nialisme, sejatinya kalimat tersebut tak berlebihan. Bagi Hilmar, novel Max Havelaar berperan penting terhadap banyak perubahan yang terjadi. "Karya ini berhasil membongkar skandal yang selama berpuluh tahun dilihat tapi tak disadari," ungkapnya. Hilmar pun berpendapat, energi yang dimiliki oleh novel realisme memiliki kelebihan untuk menyampaikan kritik. "Kritik dalam bentuk novel bisa mengungkapkan cerita yang lebih mendalam dan bisa menciptakan perubahan dengan daya yang masif dan global," jelasnya.
Melalui karya ini, pembaca dibuat sadar bahwa kolonialisme akan senantiasa bergantung pada feodalisme."Kolonialisme itu ibaratnya parasit yang menempel pada feodalisme, tanpa feodalisme kolonialisme sulit untuk tumbuh," ungkap Hilmar. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 46 bahasa di dunia. Buku ini pun diyakini sebagai penggerak perubahan berakhirnya sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat pribumi di Hindia Belamda. Diawali dengan diberlakukannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria.
Kisah tentang kolonialisme dan feodalisme senantiasa relevan, dan keniscayaannya terbukti kini. Setelah 154 tahun sejak kelahiran buku ini, kisah antara rakyat dan penguasa Banten tak jauh berubah. Kisahnya tetap terwakili oleh dinasti era kini. "Mungkin seharusnya anggota DPR dan pemimpin di negeri ini harus baca Max Havelaar," singgung Ubai. Hingga kini, keadaan masyarakat Banten khususnya Lebak tak bisa dibilang jauh berbeda. "Di Lebak, tempat anak-anak Taman Bacaan Multatuli, listrik itu baru masuk 2 tahun terakhir," ungkap Ubai. Kondisi itu seharusnya tak terjadi mengingat Banten terletak di Pulau Jawa. Hal ini menjadi kontras jika dibandingkan dengan dinasti keluarga gubernur Banten yang seakan raja.
(Tulisan ini diterbitkan di Media Indonesia)
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/5322/Mengilhami-Karya-Sastra-dan-Semangat-Kebangsaan/2014/10/26